Tulisan ini dibuat untuk diterbitkan di Jurnal Lemhannas RI, Maret 2015. 

Ibukota Jakarta adalah pusat pergerakan di Indonesia dimana interaksi pemangku kebijakan antara satu dan lainnya adalah keniscayaan. Perkantoran pemerintahan dan bisnis bersatu padu di Jakarta demi menunjang komunikasi yang lebih baik. Menurut Morton Deutsh, dalam buku The Resolution of Conflict, grup yang secara posisi berdekatan dan secara fungsi saling bergantung satu sama lain, juga berbagi fasilitas yang sama, akan lebih mudah berkomunikasi sekaligus meningkatkan tingkat kemungkinan terjadinya konflik (1977).[i] Dengan kata lain, interaksi yang tinggi lebih membuka peluang terjadinya konflik daripada tidak adanya kontak sama sekali, namun biasanya tidak menjadi masalah yang berat atau tidak sedramatis konflik yang terjadi pada pihak-pihak yang tidak pernah ada interaksi sama sekali.
Ketahanan nasional tidaklah hanya harus dibina, tetapi ketahanan nasional harus tetap tercipta ketika pihak-pihak di dalam negeri menghadapi konflik yang tidak berujung penyelesaiannya. Hal ini tentu saja mampu berakibat buruk dalam jangka panjang terhadap ketahanan nasional, terutama apabila melibatkan badan organisasi atau institusi yang besar dan berpengaruh dalam lini-lini kemasyarakatan. Maka dari itu, penting untuk diperhatikan bahwa upaya mediasi adalah sebuah pilihan yang baik untuk mencapai sebuah solusi atau persetujuan di kedua belah pihak. Namun, mediasi bukanlah sebuah kata yang berdiri sendiri. Dalam upaya suatu mediasi, ada beberapa level tindakan yang bisa dipilih sebagai opsi sebelum melakukan mediasi ataupun setelah deadlock dalam mediasi yang diusahakan.
Dalam artikel ini, penulis akan menjabarkan secara padat bagaimana pentingnya proses resolusi konflik di Ibukota Indonesia dengan pendekatan astagrata sekaligus memparkan opsi-opsi yang dapat dipertimbangkan demi kelangsungan ketahanan Tanah Air yang kita cintai bersama dengan analisa kasus kekinian demi memperjelas contoh kasus.


Pendekatan manajemen konflik
Dalam upaya mendamaikan konflik yang terjadi antara dua pihak, ada beberapa bentuk pendekatan berbeda yang dapat diperhatikan untuk memahami dengan baik proses yang ditempuh sehingga hasil yang diharapkan dapat dihasilkan oleh sistem manajemen konflik yang benar: sesuai dengan hak pihak-pihak yang berkonflik juga pihak yang memediasi.
Menurut Christopher W. Moore, dalam karyanya The Mediation Process, ketidaksepahaman dapat “diakhiri” dengan menghindari pihak lawan sehingga masalah dapat “berakhir” menggantung (1982).[ii] Biasanya ini terjadi apabila isunya tidak terlalu penting. Ketika sekedar menghidari lawan tidak juga menghasilkan efek yang diharapkan, kedua belah pihak terkadang akan menggelar diskusi informal untuk mengakhiri masalah tersebut. Ketika sudah menyakut konflik kepentingan, maka akan terjadi negosiasi antara kedua belah pihak. Negosiasi adalah proses yang lebih terstruktur dan melibatkan pihak satu dan lainnya secara sukarela. Sementara mediasi adalah proses resolusi konflik yang sudah harus melibatkan pihak ke tiga yang netral dan dianggap memiliki pengaruh dan “nyambung” dengan topik konflik yang dipermasalahkan. Namun pihak ketiga ini tidak memiliki kuasa untuk mengambil keputusan untuk menyelesaikan konflik. Seperti pada proses negosiasi, hanya pihak-pihak yang bermasalah saja lah yang memiliki hak untuk mengambil keputusan untuk mengakhiri konflik.
Di atas proses negosiasi dan mediasi ini, ada beberapa proses penyelesaian konflik yang bisa melibatkan pihak ke tiga sebagai pengambil keputusan. Dalam sebuah organisasi yang besar dan rawan konflik, ada sesuatu yang dinamakan pendekatan resolusi konflik eksekutif dan yang menjadi administratornya akan menjaga keseimbangan sistem juga kepentingan para individu yang bermasalah. Apabila para pihak yang berkonflik menginginkan pihak lain untuk menangani masalah mereka, secara sukarela, maka proses tersebut dinamakan proses arbitrase. Yang terpenting adalah, pihak ke tiga ini adalah orang/badan yang berada di luar hubungan konflik.
Apabila perseteruan yang terjadi semakin berlarut-larut antara institusi ataupun otoritas publik, maka penyelesaian masalah dapat dilakukan dengan pendekatan hukum. Pada akhirnya, masalah yang awalnya tertutup akan menjadi konsumsi publik. Namun proses penyelesaian konflik yang dapat dikonsumsi publik tidaklah hanya terbatas pada proses pendekatan hukum saja. Ada pula yang dinamakan pendekatan legislatif dimana cara ini digunakan apabila sudah menyangkut populasi yang besar –juga tergantung dengan sistem pemerintahan di negara yang bersangkutan. Bedanya pendekatan ini dengan yang lainnya adalah proses pengambilan suara yang menghasilkan angka tetap antara menang atau kalah. Tidak ada win-win solution dalam pendekatan legislatif.
Lalu, ada juga cara penyelesaian masalah yang dinamakan pendekatan extralegal yang mana terbagi atas dua tipe penyelesaian masalah. Pertama, aksi tanpa kekerasan. Aksi ini sangat efektif untuk menyelesaikan perselisihan apabila pihak yang bermasalah saling bergantung satu sama lain dan bersangkutan dengan keharmonisan sistem, bisa dalam level personal atau pun dalam skala besar, maka pihak yang dirasa lebih bergantung dapat ditekan oleh pihak yang lebih memiliki kekuasaan.  Kedua, tidakan kekerasan. Pendekatan ini dilakukan hanya apabila pihak yang melakukan kekerasan memiliki kekuatan yang cukup untuk membahayakan pihak lawannya, dapat meyakinkan pihak lawan, juga mampu dan bisa menggunakan kekuatan tersebut.

Ibukota Jakarta
Secara geografis, Jakarta terletak di daerah barat daya kepulauan Indonesia. Dipenuhi oleh 35,16% suku Jawa, 27,65% suku Betawi, 15,27% suku Sunda, 5,53% suku Tionghoa, 3,61% suku Batak, dan beberapa suku lainnya. Sementara secara agama, mayoritas penduduk Jakarta adalah Muslim (85,36%) lalu  pemeluk agama Kristen Protestan (7,54%), Kristen Katolik (3,15%), Buddha (3,13%), Hindu (0,21%), dan Konghuchu (0,06%).[iii] Dipandang dari aspek sosial-budaya, Betawi adalah budaya dasar di Jakarta yang dimiliki oleh suku Betawi. Namun karena Jakarta bukanlah kota yang homogen sehingga budaya di Jakarta sudah bercampur baur. Meskipun begitu, budaya Betawi masih memberikan pengaruh kepada pendatang terutama pada bahasa dan aplikasi budaya.


Hot news yang sedang berkembang di Jakarta dapat dijadikan contoh proses mediasi di kota Jakarta. Tidak lain dan tidak bukan adalah perseteruan antara Gubernur Basuki “Ahok” Tjahja Purnama dan DPRD DKI Jakarta karena pihak Gubernur merasa ada anggaran yang ganjil dalam RAPBD 2015 sehingga melakukan langkah mengirimkan dokumen anggaran 2015 ke Kementerian Dalam Negeri yang dilakukan dengan e-budgeting sementara DPRD merasa sang Gubernur sudah melanggar peraturan dalam upaya “pencegahan” yang disebutkan sebelumnya. Sesuai peraturan, dokumen anggaran haruslah ada tanda tangan anggota DPRD.
Dalam proses negosiasi yang mentok di jalan ini, penulis mengajak pembaca untuk memetakan posisi perseteruan dan kukuhnya kekuatan kedua belah pihak yang akhirnya berakhir buruk karena ada emosi yang dilibatkan dalam pertemuan mediasi yang berujung perdebatan menurut persepsi resolusi konflik. Dalam teori Negosiasi, ada beberapa tahapan yang perlu disiapkan dan diperhatikan untuk menghadapi negosiasi; apa posisinya, targetnya, ekspektasinya, titik resistansi, poin perjanjiannya, dan BATNA-nya. BATNA adalah singkatan dari Best Alternative to a Negotiated Agreement, yaksi alternatif terbaik yang dapat dilakukan apabila kita tidak dapat menghasilkan kesepakatan. Dapat pula disebut, jalan keluar lainnya.[iv]
Perseteruan yang terjadi antara Gubernuk Ahok dan DPRD DKI Jakarta disebabkan belum adanya titik temu jumlah anggaran yang ingin disetujui bersama. Posisi awal Gubernur Ahok adalah anggaran e-budgeting sebesar Rp 73,083 triliun yang sudah disepakati bersama pada 27 Januari 2015.[v] Sementara posisi yang diambil pihak DPRD DKI Jakarta adalah RAPBD 2015 yang sudah dikoreksi oleh DPRD yang juga sudah termasuk anggaran Rp 12,1 triliun untuk pengadaan uninterruptible power supply (UPS), pengadaan buku trilogi Ahok, dan anggaran untuk peningkatan pemahaman SK Gubernur tentang RT dan RW di Jakarta.
Dalam prosesnya, Gubernur Ahok yang tidak mau berkompromi membuat faktor poin pertahanan (resistance point) hilang dari negosiasi ini. Pihak manapun yang ingin menghasilkan sebuah kesepakatan perlu memiliki poin pertahanan dimana dia bisa menerima penawaran pihak lainnya tanpa benar-benar kehilangan target yang dituju. Dalam berita yang tertulis di Majalah Detik, disebutkan bahwa Gubernur Ahok sudah memberikan sebesar Rp 4 triliun kepada anggota DPRD untuk reses yang disediakan oleh program pemerintah provinsi. Sementara DPRD keukeuh dengan Rp 12,1 triliun yang akhirnya membuyarkan posisi poin pertahanan DPRD. Apakah DPRD mau berkompromi seandainya Gubernur Ahok sudi menyetejui kenaikan anggaran menjadi Rp 8,8 triliun? Ini bisa menjadi titik resistensi DPRD yang akhirnya bisa dijadikan opsi di zona perjanjian yang dimungkinkan.
Perseteruan panas mulai terjadi ketika Gubernur Ahok memberikan dokumen anggaran RAPBD DKI Jakarta kepada Kementerian Dalam Negeri tanpa tanda tangan anggota DPRD. Menurut peraturan, mekanisme penyerahan dokumen RAPBD tersebut memerlukan tanda tangan anggota DPRD yang berwenang. Sementara Gubernur Ahok mengelak adanya mekanisme tersebut dengan dalih e-budgeting tidak memerlukan tanda tangan anggota DPRD lagi, muncul sebuah pertanyaan: apakah sistem e-budgeting tanpa tanda tangan ini sudah disetujui oleh DPRD dan Kementerian Dalam Negeri. Dalam pernyataan Abraham “Lulung” Lunggana selaku Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, disebutkan bahwa benar adanya DPRD mengetahui system e-budgeting, tetapi tidak pernah disebutkan bahwa e-budgeting juga semestinya mendapatkan tanda tangan DPRD. Sementara di pihak ketiga, yaitu Kementerian Dalam Negeri, juga menolak dokumen Gubernur Ahok tersebut dengan alasan tidak adanya lampiran A-1 (ringkasan APBD) dan halaman belanja tak langsung pejabat pengelola keuangan daerah.[vi] Intinya, kesalahan format yang tidak sesuai dengan PP no 58 tahun 2005. Kedua belah pihak (Gubernur dan DPRD) sama-sama memberikan dokumen RAPBD kepada Kementerian Dalam Negeri yang sama-sama tidak komplit; tidak ada tanda tangan pimpinan dewan dalam lembar nomenklatur di dokumen Gubernur Ahok dan tidak ada tanda tangan pihak Pemerintah Provinsi pada dokumen yang diserahkan DPRD.[vii] Sehingga dapat dikatakan, dalam proses konflik ini kedua belah pihak sudah melakukan kesalahan yang sama.
Dalam proses managemen konflik, pihak yang sedang melakukan proses negosiasi dapat secara bebas memilih pendekatan terbaik untuk mencapai target yang dituju. Ada pendekatan distributif dan pendekatan integratif. Negosiasi integratif biasanya dikenal dengan pendekatan yang kooperatif, kolaboratif, win-win solutions, untung bersama, dan juga menyelesaikan masalah.[viii] Karakter pelaku negosiasi integratif ini dapat dilihat dari level kejujuran dan integritas yang dijunjung oleh pihak yang bernegosiasi, mental untuk membuat “kue” lebih besar agar semua pihak dapat bagian, kedewasaan, berorientasi system, dan mampu mendengar dengan baik. Negosiasi integratif yang sukses bergantung pada pencarian solusi kreatif yang bisa memenuhi kebutuhan kedua belah pihak. Sementara itu, negosiasi distirbutif adalah proses yang lebih dikenali dengan win-lose solution, kompetitif, dan penuh tawar menawar. Pada pendekatan yang ini, biasanya gol yang dituju oleh satu pihak sudah bertentangan dengan target yang ingin dicapai pihak lainnya. Jika pada pendekatan integratif, “kue” yang mau dibagi masih bisa dibesarkan ukurannya dengan kreatifitas pengambilan kebijakan, dalam pendekatan distributif, “kue”-nya sudah terbatas. Jadi, perselisihan Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta ini adalah bentuk tawar-menawar distributif. Adalah uang yang menjadi “kue”nya dengan jumlah yang terbatas dan kedua belah pihak yang sama keras dan enggan untuk berkompromi.

Tentang Pendekatan Distibutif
Pada beberapa perundingan, terkadang pilihan yang tersedia adalah saling setuju atau tidak dapat apa-apa sama sekali. Namun kehidupan tidak bisa berhenti di situ bukan? Maka, pihak-pihak yang berunding harus memiliki alternatif terbaik untuk perjanjian yang telah dinegosiasikan atau BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement). Sebaiknya BATNA setiap pihak disembunyikan dari pihak lainnya demi menjaga kemungkinan terbaik negosiasi yang sedang dijalankan dapat menghasilkan perjanjian yang bisa diterima kedua belah pihak. Dalam kasus RAPBD DKI Jakarta, dapat kita perkirakan alternatif terbaik yang dimiliki oleh kedua belah pihak. BATNA Gubernur Ahok adalah kucuran dana APBD yang sama jumlahnya dengan APBD 2014 dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang disetujui oleh Menteri Dalam Negeri. Perbedaan anggarannya tidak terlampau jauh selisihnya antara tahun lalu dan tahun ini: pada 2014, APBD DKI Jakarta adalah Rp 72,9 triliun sementara RAPBD 2015 adalah Rp 73, 083 triliun; naik 0.24%. [1]


Sehingga mengorbankan beberapa program senilai Rp 183 miliar telah menjadi pilihan Gubernur Ahok. Di lain pihak, langkah-langkah yang dilakukan oleh DPRD DKI Jakarta belakangan ini dapat pula kita tanggapi sebagai BATNA DPRD; makzulnya Gubernur Ahok apabila terbukti bersalah melanggar peraturan melalui Panitia Hak Angket yang dilaksanakan di DPRD DKI Jakarta untuk meluruskan keabsahan RAPBD DKI Jakarta 2015.[ii] Tindakan melaporkan Gubernur Ahok ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dengan enam pasal yang disiapkan juga termasuk alternatif yang bisa diambil DPRD DKI Jakarta. Beberapa pasal yang akan diangkat adalah Pasal 263, 268, 264 KUHP tentang Pemalsuan, Pasal 441 tentang Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 209 tentang Suap, dan Pasal 268 tentang Pemalsuan Dokumen Negara.[iii]
Perlu diketahui, tanpa kita sadari, semakin bagus BATNA kita maka semakin besar kekuatan kita dalam perundingan itu. Banyak orang mengira bahwa kekuatan dalam negosiasi terletak pada harta, koneksi politik, kekuatan badan, juga senjata. Tidak. Faktanya, kekuatan yang paling berpengaruh pada sebuah negosiasi adalah seberapa menarikkah opsi lain apa bila perjanjian tersebut tidak tercapai? Memiliki segala kekuatan tetapi tidak memiliki opsi-opsi cadangan tidak menjadikan kekuatan kita eksis. Sehingga sebagai pihak yang bertempur untuk mencapai sebuah hasil, setidaknya BATNA-nya juga harus dikembangkan.[iv] Caranya dengan: Satu, menulis semua hal yang dapat dilakukan apabila persetujuan tidak tercapai. Dua, mengembangkan ide-ide yang menjanjikan dan membuatnya menjadi alternatif yang bisa langsung dilaksanakan. Tiga, memilih opsi terbaik dari semua pilihan yang dimiliki. Mengembangkan ide-ide yang menjanjikan dan menjadikannya kongkrit sangatlah penting. Karena secara manusiawi, kita cenderung membesarkan agregat kemungkinan kesempatan alternatif akan terus ada, padahal bisa saja tidak. Misalkan DPRD memiliki BATNA menghapus program pengadaan mesin pencetak 3D dari sekolah-sekolah di Jakarta Selatan, Timur, Barat, dan Pusat, maka DKI Jakarta dapat menghemat Rp 190,5 miliar, sehingga RAPBD DPRD DKI Jakarta jadi lebih slim dan dapat diterima Gubernur? Atau bagaimana dengan membangun koneksi politik dengan pihak ketiga agar dapat meyakinkan Gubernur? Jikalau opsi-opsi yang didaftar sudah tergambar jelas, sebaiknya dipastikan kemungkinan seluruh anggota DPRD DKI Jakarta akan menyetujuinya atau setidaknya mayoritas suara sehingga berpengaruh signifikan pada keputusan yang diambil DPRD DKI Jakarta.
Penanganan perselisihan dengan cara melapor ke polisi di Jakarta sudah menjadi hal yang biasa dimana pihak yang merasa dirugikan tidak akan sungkan mengajukan aduan ke Kepolisian. Melihat keamanan di Jakarta, seperti yang dikutip dari situs resmi Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, mengikuti perkembangan kota yang begitu progressif di ibukota, ada empat bentuk ancaman kejahatan yang diantisipasi oleh pihak Kepolisian; ancaman kriminalitas, ancaman terorisme, ancaman kejahatan korupsi, dan ancaman kejahatan narkoba.[v] Dengan jumlah personel 27.895 orang, dibandingkan dengan penduduk Jakarta yang berjumlah 12,7 juta orang pada siang hari, polisi dan penduduk berbanding 1:455.[vi] Apakah artinya untuk 106 anggota DPRD DKI Jakarta hanya ada seperempat polisi (bukan satu) yang dapat menangani kasusnya?[vii] Tidak. Total jumlah suara sah pemilih di daerah pemilihan DKI Jakarta pada Pemilu Legislatif 2014, yaitu 4.891.034 orang, dengan kata lain ada hampir lima juta penduduk Jakarta memberi wewenang politis kepada anggota dewan yang dipilihnya untuk melaporkan Gubernur Ahok ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.[viii] Dari jumlah tersebut, 2.472.130 orang diantaranya adalah pemilih Joko Widodo dan Ahok pada Pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta 2012.[ix]
Jika dipandang dari sudut ideologi, partai-partai yang menduduki kursi-kursi di DPRD DKI Jakarta adalah partai yang berideologi Pancasila sebagai dasarnya. Maka apabila kita tengok ke sila ke empat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan,” tidak semestinya DPRD dan Kegubernuran berselisih seperti ini.
Pada kondisi terkini, DKI Jakarta tidak memiliki sumber kekayaan alam (SKA) sendiri, tetapi kota ini menjadi basis utama pergerakan politik, bisnis, pendidikan, dan lainnya untuk seluruh Indonesia. Sumber kekayaan Jakarta terletak di atas tanah-tanahnya, di dalam masyarakatnya yang heterogen yang menjadikan Jakarta semaju sekarang. Sehingga di Jakarta segalanya dapat menjadi komoditas yang menghasilkan uang. Perekonomian di Jakarta juga adalah yang termaju di Indonesia. Dalam konflik yang melibatkan uang, masalah akan lebih rumit untuk diselesaikan dibandingkan apabila “taruhan”nya biasa saja. Menurut Professor Jeffrey Pugh, untuk menyelesaikan sebuah perundingan, ada dua hal yang perlu diingat dan dijadikan dasar tolak ukur pencapaian resolusi: Pertama, hubungan jangka panjang. Kedua, hal yang dipertaruhankan. (J. Pugh, komunikasi kolese, 9 Maret 2015). Apabila yang dipertaruhan kecil namun berdampak besar kepada hubungan ke depan maka cara yang ditempuh adalah dengan menyesuaikan diri. Contoh sederhananya adalah hubungan personal dalam hal asmara. Apabila yang dipertaruhkan tinggi, tetapi prediksi hubungan jangka panjangnya kecil layaknya transaksi bisnis maka penyelesaiannya adalah dengan gaya yang kompetitif layaknya tawar-menawar. Namun apabila yang dipertaruhkan besar dan pengaruhnya pada hubungan jangka panjang juga besar, maka hal tersebut harus mendapatkan perhatian yang seimbang. Dalam hal ini penyelesaiannya harus dengan kompromi atau dengan ide penyelesaian yang kreatif. Maka jika kita letakkan posisi Rp 12,1 triliun dalam kotak “taruhan”, lalu hubungan eksekutif dan legislatif yang harus terus berjalan bersama untuk membangun Jakarta pada kotak hubungan jangka panjang, maka penyelesaian konflik kedua pihak ini perlu dengan kompromi karena tidak banyak cara kreatif membesarkan “kue” RAPBD DKI Jakarta 2015. Hal penting yang harus diingat untuk mencapai titik temu adalah kedua pihak harus yakin bahwa titik temu tersebut, meskipun kurang begitu berkenan di hati, adalah hasil terbaik yang akan mereka capai. Di sini lah juga penekanan pertimbangan pentingnya kelanggengan hubungan jangka panjang. Dalam hal ini juga perlu diingat adanya komitmen yang harus dijaga. Semakin banyak orang yang mengetahui pernyataan dan komitmen pihak tertentu makan akan semakin sulit untuk mengubah komitmen tersebut.[x] Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengetahui perselisihan antara Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta, sehingga komitmen yang dihasilkan haruslah dijalankan oleh kedua belah pihak.
Karena publik sudah tahu tentang perseteruan ini, dapat kita lihat perilaku sosial warga Jakarta yang berkembang sejak tahun 2012. Pergerakan via media sosial. Tak bisa dipungkiri, semenjak Revolusi Mesir tahun 2011, seluruh dunia tahu bagaimana efek media sosial dapat melumpuhkan pemerintahan Husni Mubarak yang sudah berdiri kukuh selama 30 tahun di Mesir. Meskipun fenomena penggunaan sosial media sudah dimulai sejak tahun 2005 ketika Facebook muncul, namun momentum penggunaan media sosial yang terasa sekali di Jakarta adalah sejak Pemilihan Gubernur 2012 yang memenangkan Joko Widodo dan Ahok ke kursi DKI Satu dan Dua. Kartika Djoemadi, Aktifis Pergerakan Media Sosial, hal tersebut dibenarkan adanya kalau media sosial sudah menjadi cabang dari perilaku sosial warga Jakarta (K. Djoemadi, komunikasi personal, 11 Maret 2015). Jika kita pantau di Twitter, ada dukungan deras kepada Gubernur Ahok dengan dipimpin oleh akun @temanAhok dan dibantu #gueAhok dan #saveAhok.[xi] Tema utamanya adalah “Lawan Begal APBD”. Begal pun adalah kata yang sedang trendi di Indonesia karena kejahatan motor yang sedang marak. Tidak bisa dipungkiri, penggunaan kata yang familiar dan sedang trendi juga sudah menjadi ciri khas warga Indonesia. Apakah ini dapat dikategorikan sebagai taktik Gubernur Ahok untuk memenangkan perselisihan ini? Bisa jadi. Di lain pihak, bermunculan juga akun-akun baru di Twitter yang menamakan diri sebagai Abraham Lunggana. Sehingga perseteruan antara Gubernur dan DPRD juga tanpa diragukan lagi sudah masuk ranah sosial media karena pengaruh perilaku sosial warga Jakarta sekarang. Perbedaan budaya orang-orang yang berdomisili di Jakarta juga telah hilang ketika masuk ke medium elektronik. Masyarakat Jakarta yang heterogen menjadi lebih jelas terlihat ketika dibaca melalui akun media sosial pribadi siapapun dengan intonasi apa pun sesuai logika pembaca yang sudah pasti dipengaruhi dan berpengaruh kepada budaya asal orang tersebut.
Dalam proses tawar-menawar distributif, tidak biasanya pihak tertentu memperlihatkan apa target dan alternatif yang dimilikinya. Tetapi apabila situasi tertekan oleh tenggat waktu atau deadline yang pendek, pihak-pihak yang berseteru dapat menjelaskan apa targetnya secara jelas.[xii] Seperti yang tampak dalam perselisihan ini, Kementerian Dalam Negeri memberikan tenggat waktu satu minggu untuk menyelesaikan perselisihan pasca proses mediasi hingga 13 Maret 2015, sehingga BATNA yang dimiliki oleh kedua belah pihak dapat terlihat jelas di berita-berita nasional. Penelitian membuktikan bahwa banyak sekali perjanjian yang dilalui dengan pendekatan distributif ini dapat tercapai apabila tenggat waktunya sudah dekat selain itu para pihak yang berlawanan akan cenderung mengurangi permintaan yang ada di awal bila keduanya dihadapkan pada perihal kepentingan yang sama. Dalam hal ini, salah satunya adalah perlunya pegawai negeri sipil DKI Jakarta diberi gaji bulanan, termasuk anggota DPRD yang sedang berselisih memiliki haknya.
Mengenai letupan emosi yang menguap dalam proses mediasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, ada hal yang perlu diingat pula dalam proses resolusi perselisihan: kunci untuk perjanjian yang sukses terkadang tidak terletak pada detil teknis, tetapi pada cara bagaimana menyalurkan emosi dengan baik sehingga diskusi dapat berjalan sesuai ekspektasi umum.[xiii] Pada kasus tertentu, amarah bisa menjadi efek positif dalam sebuah perundingan.[xiv] Namun, pada kasus lainnya amarah bisa menyebabkan perundingan menjadi keruh. Hal itu disebabkan karena tiga hal ini: itu mempersempit fokus kita yang tadinya menyangkut hal yang lebih besar menjadi lebih kecil karena kita jadi lebih terfokus pada rasa kesal dan amarah, itu juga membuat buram objektifitas kita karena karena kita kehilangan rasa percaya terhadap pihak lain, dan itu pun menjadikan kita salah arah karena bukannya lagi fokus pada masalah utama tetapi juga memiliki hasrat untuk membalas pihak lawan perundingan.[xv] Namun di sisi lain, ada taktik negosiasi Bola Keras yang menggunakan amarah sebagai alat untuk mendapatkan target, yaitu intimidasi dan tindakan agresif.[xvi] Pada umumnya, banyak sekali aksi-aksi yang dapat dikategorikan sebagai gerakan intimidasi seperti penggunaan amarah, legitimasi, dan rasa bersalah. Kemarahan yang meledak dapat mempengaruhi jalannya negosiasi dengan cara membuyarkan fokus resolusi yang tadinya untuk hal tertentu menjadi ditambahi dengan faktor-faktor perilaku yang tidak mengenakkan yang akhirnya membuat pihak yang tersinggung kehilangan fokus atas tujuan utamanya. Berada dalam posisi semacam ini dapat mengancam hasil perjanjian yang direncanakan. Dari yang inginnya A dan B, kedua belah pihak dapat berakhir dengan hanya hasil A atau tidak dapat apa-apa sama sekali. Taktik intimidasi ini didesain untuk membuat yang mengintimidasi menjadi merasa lebih kuat dan yang terintimidasi menjadi menggunakan emosi dalam mengambil keputusan, bukannya menggunakan kepala dingin. Ada beberapa cara untuk berhadapan dengan taktik intimidasi ini, antara lain; mengingat kembali alasan dan tujuan dilakukannya perjanjian, mendiskusikan bagaimana kita sebagai pihak yang bersebelahan ingin dihormati layaknya kita akan menghormatinya, juga mengutus tim khusus yang memiliki pandangan lain dalam menyikapi amarah. Karena tidak semua orang dapat tersinggung dengan hal-hal tertentu, sehingga efek intimidasi tidak dapat mampu mempengaruhinya. Sementara itu, mengenai tindakan agresif yang penulis sebutkan di atas adalah sebutan dari beberapa tindakan semacam ini: menekan demi mendapatkan bagian konsesi yang lebih besar, meminta penawaran terbaik di awal pertemuan, dan meminta pihak lawan untuk menjelaskan detil perjanjian dengan rinci yang mana jika dipandang dari sudut lain, hal ini akan membuat nervous pihak yang harus menjelaskan detil lagi dan lagi. Cara terbaik untuk menghadapi taktik ini adalah dengan menghentikan proses negosiasi sementara untuk mengingatkan kembali bahwa hasil yang ingin dicapai adalah yang berdasarkan kebutuhan dan kepentingan, bukanlah dari rasa kesal karena dikonfrontasi oleh emosi pihak yang mengintimidasi.

Dalam menganalisa perselisihan yang terjadi antara Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta, ada dua jalan yang bisa ditempuh ke dua belah pihak. Pertama, melihat kondisi pihak-pihak berperkara yang tidak ingin kembali ke meja perundingan lagi, maka perlu ada komunikasi yang dibangun, bisa secara langsung atau melalui pihak ketiga, tentang mengapa menolak kembali ke meja perundingan. Pembicaraan yang dibangun tidaklah dengan tema menyalahkan karena tidak mau lagi bernegosiasi, tetapi mencari jawaban utama mengapa tidak ingin lagi kembali rembukan.[xvii] Apakah karena gengsi? Atau pertemuan berikutnya diekspektasi akan berakhir sama? Karena pada akhirnya dalam beberapa tahun ke depan, Gubernur dan anggota DPRD akan kembali berjumpa pada rapat anggaran tahunan. Rapat yang sama dengan orang yang sama, di tempat yang sama, hanya beda tahun dan angka anggarannya. Di akhir, dipastikan apakah langkah tersebut yang akan diambil demi mencapai kesepakatan atau ada alternatif lain yang ingin ditawarkan. Kedua, menggunakan prosedur satu teks.[xviii] Hal ini dilakukan oleh mediator yang dipercaya. Dalam hal ini adalah Kementerian Dalam Negeri. Prosedur satu teks ini adalah pendekatan untuk melihat dan memperlakukan masalah dengan lebih sederhana. Pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyentuh dasar mengapa hasil akhir harus ada beserta rincian programnya. Teknik ini akan memakan waktu sedikit lebih lama karena menggunakan pihak ketiga yang akan bolak-balik dari pihak satu dan lainnya tetapi dengan hasil yang dapat secara sederhana dan gamblang untuk dipahami juga diterima oleh kedua belah pihak. Proses ini hampir sangat esensial untuk negosiasi yang melibatkan organisasi besar dan kehadiran mediator sangatlah diperlukan.[xix] Kelompok-kelompok yang berseteru perlu jalan untuk memahami kondisi dengan lebih sederhana tanpa mengorbankan hasil akhir yang semestinya bagus juga. Perlu diketahui, dalam langkah ini, mediator tidak memerlukan persetujuan kedua belah pihak dulu untuk memulai. Draf atau konsep yang dikehendaki pihak mediator dapat langsung dibuat. Begitu jadi, diharapkan langsung meminta feedback dari pihak-pihak yang berseteru dan terus di-follow up sampai keduanya bertemu dalam zona kemungkinan bersepakat. Bahkan kedua belah pihak pun tidak perlu bertemu dulu untuk akhirnya berunding.

Kesimpulan
Pentingnya manajemen konflik di ibukota Jakarta sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Dengan intensitas pertemuan berbagai macam organisasi berikut kebijakan-kebijakan yang diambil secara tradisional maupun progressif sesuai dengan budaya organisasi tersebut, konflik akan menjadi sesuatu yang tak terelakkan jika sudah mencapai suatu poin ketidak sepemahaman. Diperlukan adanya kesadaran untuk menggunakan strategi-strategi tertentu untuk menghindari konflik yang dapat berakibat mengancam ketahanan nasional. Setiap permasalahan memiliki akar yang dapat ditemukan dan dihadapi sesuai teknik-teknik resolusi konflik yang sudah dibuktikan melalui pengalaman-pengalaman negosiator dan penelitian-penelitian di tingkatan akademis. Negosiator ulung juga dapat gagal sewaktu-waktu dan ide kreatif dari manapun itu asalnya juga punya kesempatannnya untuk menyelesaikan masalah.


[1] Rifai, B., Durohman, I., Hikmat, I. (2015). Ontran-ontran Lulung dkk. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari majalah.detik.com/
[ii] Durohman, I., Yumiyanti, I. (2015). Abraham 'Lulung' Lunggana: Bukti ditunjukkan Allah Ahok langgar UU. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari majalah.detik.com/
[iii] Rifai, B., Durohman, I., Hikmat, I. (2015). Ontran-ontran Lulung dkk. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari majalah.detik.com/
[iv] Fisher, R., Ury, W. (2011). Getting to yes (3rd ed). Patton, B. (Ed.). New York: Pinguin Books.
[v] Karuk, M. Polda Metropolitan Jakarta Raya secara garis besar. (n.d.) Diambil pada 11 Maret 2015 dari Polda Metro Jaya: http://www.metro.polri.go.id/satker-jajaran-polda-metro-jaya
[vi] Fadillah, R. (2014). Berapa juta penduduk Jakarta saat ini? Merdeka. Diambil dari merdeka.com/
[vii] Jumlah kursi & fraksi DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019. (n.d.) Diambil pada 11 Maret 2015 dari DPRD Provinsi DKI Jakarta: http://www.dprd-dkijakartaprov.go.id/wp/fraksi/fraksidprddkijakartaprov/
[viii] Lihat hasil total penjumlahan suara sah pemilih daerah pemilihan DKI Jakarta I, II, dan III di Rekapitulasi jumlah perolehan suara sah partai politik secara nasional dalam pemilu dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat tahun 2014. (2014). Komisi Pemilihan Umum. Diambil dari http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_Penetapan_Hasil_Pileg.pdf
[ix] Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2012. (n.d.) Diambil pada 11 Maret 2015 dari Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2012
[x] Lewicki, R. J., Saunders, D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation. 34-75.
[xi] Hikmat, I., Rifai, B., Durohman, I., Shintami, M., Khabibi, I., Wiguna, O. (2015). Saat Ahok tolak 'proyek nenek lo'. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari majalah.detik.com/
[xii] Lewicki, R. J., Saunders, D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation. 34-75.
[xiii] Garai, G., Pravda, S. Defusing emotions of buyers and sellers in getting deals done. Mergers & Acquisitions 23-28.
[xiv] Daly, J. (1991). The effects of anger on negotiations over mergers and acquitions. Negotiation Journal 7: 31-39.
[xv] Adler, R. S., Rosen, B., Silverstein, E. M. (1998). Emotions in negotiation: how to manage fear and anger. Negotiation Journal. April 1998: 161-177.
[xvi] Lewicki, R. J., Saunders, D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation. 34-75.
[xvii] Fisher, R., Ury, W. (2011). Getting to yes (3rd ed). Patton, B. (Ed.). New York: Pinguin Books.
[xviii] Idem.
[xix] Idem.





[i] Deutsh, Morton. (1977). The resolution of conflict (2nd ed.). Bighamton, N.Y: Yale University Press.
[ii] Moore, Christopher. (1982). The mediation process: Practical strategies for resolving conflict. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
[iii] Jakarta. (n.d.) Diambil pada 10 Maret 2015 dari Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Jakarta
[iv] Lewicki, R. J., Saunders, D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation. 34-75.
[v] Rifai, B., Durohman, I., Hikmat, I. (2015). Ontran-ontran Lulung dkk. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari majalah.detik.com/
[vi] Nurbilkis, M. (2015, 9 Feb). Kemendagri: Pemprov DKI mengaku salah format karena sistem e budgeting. Detik. Diambil dari news.detik.com/
[vii] Sidarta, D. (2015, 13 Feb). Format e-budgeting RAPBD DKI menjadi model nasional. Geo Times. Diambil dari geotimes.co.id/
[viii] Lewicki, R. J., Saunders, D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of integrative negotiation. Negotiation. 76-111.
L'Article by LMA. Diberdayakan oleh Blogger.