Tulisan ini dibuat untuk diterbitkan di Jurnal Lemhannas RI, Maret 2015.
Ibukota Jakarta adalah pusat pergerakan di Indonesia dimana interaksi pemangku kebijakan antara satu dan lainnya adalah keniscayaan. Perkantoran pemerintahan dan bisnis bersatu padu di Jakarta demi menunjang komunikasi yang lebih baik. Menurut Morton Deutsh, dalam buku The Resolution of Conflict, grup yang secara posisi berdekatan dan secara fungsi saling bergantung satu sama lain, juga berbagi fasilitas yang sama, akan lebih mudah berkomunikasi sekaligus meningkatkan tingkat kemungkinan terjadinya konflik (1977).[i] Dengan kata lain, interaksi yang tinggi lebih membuka peluang terjadinya konflik daripada tidak adanya kontak sama sekali, namun biasanya tidak menjadi masalah yang berat atau tidak sedramatis konflik yang terjadi pada pihak-pihak yang tidak pernah ada interaksi sama sekali.
Ibukota Jakarta adalah pusat pergerakan di Indonesia dimana interaksi pemangku kebijakan antara satu dan lainnya adalah keniscayaan. Perkantoran pemerintahan dan bisnis bersatu padu di Jakarta demi menunjang komunikasi yang lebih baik. Menurut Morton Deutsh, dalam buku The Resolution of Conflict, grup yang secara posisi berdekatan dan secara fungsi saling bergantung satu sama lain, juga berbagi fasilitas yang sama, akan lebih mudah berkomunikasi sekaligus meningkatkan tingkat kemungkinan terjadinya konflik (1977).[i] Dengan kata lain, interaksi yang tinggi lebih membuka peluang terjadinya konflik daripada tidak adanya kontak sama sekali, namun biasanya tidak menjadi masalah yang berat atau tidak sedramatis konflik yang terjadi pada pihak-pihak yang tidak pernah ada interaksi sama sekali.
Ketahanan nasional tidaklah hanya harus
dibina, tetapi ketahanan nasional harus tetap tercipta ketika pihak-pihak di
dalam negeri menghadapi konflik yang tidak berujung penyelesaiannya. Hal ini
tentu saja mampu berakibat buruk dalam jangka panjang terhadap ketahanan
nasional, terutama apabila melibatkan badan organisasi atau institusi yang
besar dan berpengaruh dalam lini-lini kemasyarakatan. Maka dari itu, penting
untuk diperhatikan bahwa upaya mediasi adalah sebuah pilihan yang baik untuk
mencapai sebuah solusi atau persetujuan di kedua belah pihak. Namun, mediasi
bukanlah sebuah kata yang berdiri sendiri. Dalam upaya suatu mediasi, ada
beberapa level tindakan yang bisa dipilih sebagai opsi sebelum melakukan
mediasi ataupun setelah deadlock
dalam mediasi yang diusahakan.
Dalam artikel ini, penulis akan
menjabarkan secara padat bagaimana pentingnya proses resolusi konflik di Ibukota
Indonesia dengan pendekatan astagrata sekaligus memparkan opsi-opsi yang dapat
dipertimbangkan demi kelangsungan ketahanan Tanah Air yang kita cintai bersama
dengan analisa kasus kekinian demi memperjelas contoh kasus.
Pendekatan manajemen
konflik
Dalam upaya mendamaikan konflik yang
terjadi antara dua pihak, ada beberapa bentuk pendekatan berbeda yang dapat
diperhatikan untuk memahami dengan baik proses yang ditempuh sehingga hasil
yang diharapkan dapat dihasilkan oleh sistem manajemen konflik yang benar:
sesuai dengan hak pihak-pihak yang berkonflik juga pihak yang memediasi.
Menurut Christopher W. Moore, dalam
karyanya The Mediation Process,
ketidaksepahaman dapat “diakhiri” dengan menghindari
pihak lawan sehingga masalah dapat “berakhir” menggantung (1982).[ii]
Biasanya ini terjadi apabila isunya tidak terlalu penting. Ketika sekedar
menghidari lawan tidak juga menghasilkan efek yang diharapkan, kedua belah
pihak terkadang akan menggelar diskusi
informal untuk mengakhiri masalah tersebut. Ketika sudah menyakut konflik
kepentingan, maka akan terjadi negosiasi antara kedua belah pihak. Negosiasi adalah proses yang lebih
terstruktur dan melibatkan pihak satu dan lainnya secara sukarela. Sementara mediasi adalah proses resolusi konflik
yang sudah harus melibatkan pihak ke tiga yang netral dan dianggap memiliki
pengaruh dan “nyambung” dengan topik konflik yang dipermasalahkan. Namun pihak
ketiga ini tidak memiliki kuasa untuk mengambil keputusan untuk menyelesaikan
konflik. Seperti pada proses negosiasi, hanya pihak-pihak yang bermasalah saja
lah yang memiliki hak untuk mengambil keputusan untuk mengakhiri konflik.
Di atas proses negosiasi dan mediasi ini,
ada beberapa proses penyelesaian konflik yang bisa melibatkan pihak ke tiga
sebagai pengambil keputusan. Dalam sebuah organisasi yang besar dan rawan
konflik, ada sesuatu yang dinamakan pendekatan
resolusi konflik eksekutif dan yang menjadi administratornya akan menjaga
keseimbangan sistem juga kepentingan para individu yang bermasalah. Apabila
para pihak yang berkonflik menginginkan pihak lain untuk menangani masalah
mereka, secara sukarela, maka proses tersebut dinamakan proses arbitrase. Yang terpenting adalah, pihak
ke tiga ini adalah orang/badan yang berada di luar hubungan konflik.
Apabila perseteruan yang terjadi semakin
berlarut-larut antara institusi ataupun otoritas publik, maka penyelesaian
masalah dapat dilakukan dengan pendekatan
hukum. Pada akhirnya, masalah yang awalnya tertutup akan menjadi konsumsi
publik. Namun proses penyelesaian konflik yang dapat dikonsumsi publik tidaklah
hanya terbatas pada proses pendekatan hukum saja. Ada pula yang dinamakan
pendekatan legislatif dimana cara ini digunakan apabila sudah menyangkut
populasi yang besar –juga tergantung dengan sistem pemerintahan di negara yang
bersangkutan. Bedanya pendekatan ini dengan yang lainnya adalah proses
pengambilan suara yang menghasilkan angka tetap antara menang atau kalah. Tidak
ada win-win solution dalam pendekatan
legislatif.
Lalu, ada juga cara penyelesaian masalah
yang dinamakan pendekatan extralegal
yang mana terbagi atas dua tipe penyelesaian masalah. Pertama, aksi tanpa
kekerasan. Aksi ini sangat efektif untuk menyelesaikan perselisihan apabila
pihak yang bermasalah saling bergantung satu sama lain dan bersangkutan dengan
keharmonisan sistem, bisa dalam level personal atau pun dalam skala besar, maka
pihak yang dirasa lebih bergantung dapat ditekan oleh pihak yang lebih memiliki
kekuasaan. Kedua, tidakan kekerasan.
Pendekatan ini dilakukan hanya apabila pihak yang melakukan kekerasan memiliki
kekuatan yang cukup untuk membahayakan pihak lawannya, dapat meyakinkan pihak
lawan, juga mampu dan bisa menggunakan kekuatan tersebut.
Ibukota Jakarta
Secara geografis, Jakarta terletak di
daerah barat daya kepulauan Indonesia. Dipenuhi oleh 35,16% suku Jawa, 27,65% suku
Betawi, 15,27% suku Sunda, 5,53% suku Tionghoa, 3,61% suku Batak, dan beberapa
suku lainnya. Sementara secara agama, mayoritas penduduk Jakarta adalah Muslim
(85,36%) lalu pemeluk agama Kristen
Protestan (7,54%), Kristen Katolik (3,15%), Buddha (3,13%), Hindu (0,21%), dan
Konghuchu (0,06%).[iii]
Dipandang dari aspek sosial-budaya, Betawi adalah budaya dasar di Jakarta yang
dimiliki oleh suku Betawi. Namun karena Jakarta bukanlah kota yang homogen
sehingga budaya di Jakarta sudah bercampur baur. Meskipun begitu, budaya Betawi
masih memberikan pengaruh kepada pendatang terutama pada bahasa dan aplikasi
budaya.
Hot
news yang sedang berkembang di Jakarta dapat dijadikan contoh proses mediasi
di kota Jakarta. Tidak lain dan tidak bukan adalah perseteruan antara Gubernur
Basuki “Ahok” Tjahja Purnama dan DPRD DKI Jakarta karena pihak Gubernur merasa
ada anggaran yang ganjil dalam RAPBD 2015 sehingga melakukan langkah
mengirimkan dokumen anggaran 2015 ke Kementerian Dalam Negeri yang dilakukan
dengan e-budgeting sementara DPRD
merasa sang Gubernur sudah melanggar peraturan dalam upaya “pencegahan” yang
disebutkan sebelumnya. Sesuai peraturan, dokumen anggaran haruslah ada tanda
tangan anggota DPRD.
Dalam proses negosiasi yang mentok di
jalan ini, penulis mengajak pembaca untuk memetakan posisi perseteruan dan
kukuhnya kekuatan kedua belah pihak yang akhirnya berakhir buruk karena ada
emosi yang dilibatkan dalam pertemuan mediasi yang berujung perdebatan menurut
persepsi resolusi konflik. Dalam teori Negosiasi, ada beberapa tahapan yang
perlu disiapkan dan diperhatikan untuk menghadapi negosiasi; apa posisinya,
targetnya, ekspektasinya, titik resistansi, poin perjanjiannya, dan BATNA-nya.
BATNA adalah singkatan dari Best
Alternative to a Negotiated Agreement, yaksi alternatif terbaik yang dapat
dilakukan apabila kita tidak dapat menghasilkan kesepakatan. Dapat pula
disebut, jalan keluar lainnya.[iv]
Perseteruan yang terjadi antara Gubernuk
Ahok dan DPRD DKI Jakarta disebabkan belum adanya titik temu jumlah anggaran
yang ingin disetujui bersama. Posisi awal Gubernur Ahok adalah anggaran
e-budgeting sebesar Rp 73,083 triliun yang sudah disepakati bersama pada 27
Januari 2015.[v]
Sementara posisi yang diambil pihak DPRD DKI Jakarta adalah RAPBD 2015 yang
sudah dikoreksi oleh DPRD yang juga sudah termasuk anggaran Rp 12,1 triliun
untuk pengadaan uninterruptible power
supply (UPS), pengadaan buku trilogi Ahok, dan anggaran untuk peningkatan
pemahaman SK Gubernur tentang RT dan RW di Jakarta.
Dalam prosesnya, Gubernur Ahok yang tidak
mau berkompromi membuat faktor poin
pertahanan (resistance point) hilang dari negosiasi ini. Pihak manapun yang
ingin menghasilkan sebuah kesepakatan perlu memiliki poin pertahanan dimana dia
bisa menerima penawaran pihak lainnya tanpa benar-benar kehilangan target yang
dituju. Dalam berita yang tertulis di Majalah Detik, disebutkan bahwa Gubernur
Ahok sudah memberikan sebesar Rp 4 triliun kepada anggota DPRD untuk reses yang
disediakan oleh program pemerintah provinsi. Sementara DPRD keukeuh dengan Rp
12,1 triliun yang akhirnya membuyarkan posisi poin pertahanan DPRD. Apakah DPRD
mau berkompromi seandainya Gubernur Ahok sudi menyetejui kenaikan anggaran
menjadi Rp 8,8 triliun? Ini bisa menjadi titik resistensi DPRD yang akhirnya
bisa dijadikan opsi di zona perjanjian yang dimungkinkan.
Perseteruan panas mulai terjadi ketika
Gubernur Ahok memberikan dokumen anggaran RAPBD DKI Jakarta kepada Kementerian
Dalam Negeri tanpa tanda tangan anggota DPRD. Menurut peraturan, mekanisme
penyerahan dokumen RAPBD tersebut memerlukan tanda tangan anggota DPRD yang
berwenang. Sementara Gubernur Ahok mengelak adanya mekanisme tersebut dengan
dalih e-budgeting tidak memerlukan
tanda tangan anggota DPRD lagi, muncul sebuah pertanyaan: apakah sistem e-budgeting tanpa tanda tangan ini sudah
disetujui oleh DPRD dan Kementerian Dalam Negeri. Dalam pernyataan Abraham “Lulung”
Lunggana selaku Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, disebutkan bahwa benar adanya
DPRD mengetahui system e-budgeting,
tetapi tidak pernah disebutkan bahwa e-budgeting
juga semestinya mendapatkan tanda tangan DPRD. Sementara di pihak ketiga, yaitu
Kementerian Dalam Negeri, juga menolak dokumen Gubernur Ahok tersebut dengan
alasan tidak adanya lampiran A-1 (ringkasan APBD) dan halaman belanja tak
langsung pejabat pengelola keuangan daerah.[vi]
Intinya, kesalahan format yang tidak sesuai dengan PP no 58 tahun 2005. Kedua
belah pihak (Gubernur dan DPRD) sama-sama memberikan dokumen RAPBD kepada
Kementerian Dalam Negeri yang sama-sama tidak komplit; tidak ada tanda tangan
pimpinan dewan dalam lembar nomenklatur di dokumen Gubernur Ahok dan tidak ada
tanda tangan pihak Pemerintah Provinsi pada dokumen yang diserahkan DPRD.[vii]
Sehingga dapat dikatakan, dalam proses konflik ini kedua belah pihak sudah
melakukan kesalahan yang sama.
Dalam proses managemen konflik, pihak
yang sedang melakukan proses negosiasi dapat secara bebas memilih pendekatan
terbaik untuk mencapai target yang dituju. Ada pendekatan distributif dan
pendekatan integratif. Negosiasi integratif biasanya dikenal dengan pendekatan
yang kooperatif, kolaboratif, win-win
solutions, untung bersama, dan juga menyelesaikan masalah.[viii]
Karakter pelaku negosiasi integratif ini dapat dilihat dari level kejujuran dan
integritas yang dijunjung oleh pihak yang bernegosiasi, mental untuk membuat “kue”
lebih besar agar semua pihak dapat bagian, kedewasaan, berorientasi system, dan
mampu mendengar dengan baik. Negosiasi integratif yang sukses bergantung pada
pencarian solusi kreatif yang bisa memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Sementara itu, negosiasi distirbutif adalah proses yang lebih dikenali dengan win-lose solution, kompetitif, dan penuh
tawar menawar. Pada pendekatan yang ini, biasanya gol yang dituju oleh satu
pihak sudah bertentangan dengan target yang ingin dicapai pihak lainnya. Jika
pada pendekatan integratif, “kue” yang mau dibagi masih bisa dibesarkan
ukurannya dengan kreatifitas pengambilan kebijakan, dalam pendekatan
distributif, “kue”-nya sudah terbatas. Jadi, perselisihan Gubernur Ahok dan
DPRD DKI Jakarta ini adalah bentuk tawar-menawar distributif. Adalah uang yang
menjadi “kue”nya dengan jumlah yang terbatas dan kedua belah pihak yang sama keras
dan enggan untuk berkompromi.
Tentang Pendekatan
Distibutif
Pada beberapa perundingan, terkadang
pilihan yang tersedia adalah saling setuju atau tidak dapat apa-apa sama
sekali. Namun kehidupan tidak bisa berhenti di situ bukan? Maka, pihak-pihak
yang berunding harus memiliki alternatif terbaik untuk perjanjian yang telah
dinegosiasikan atau BATNA (Best
Alternative to a Negotiated Agreement). Sebaiknya BATNA setiap pihak
disembunyikan dari pihak lainnya demi menjaga kemungkinan terbaik negosiasi
yang sedang dijalankan dapat menghasilkan perjanjian yang bisa diterima kedua
belah pihak. Dalam kasus RAPBD DKI Jakarta, dapat kita perkirakan alternatif
terbaik yang dimiliki oleh kedua belah pihak. BATNA Gubernur Ahok adalah kucuran
dana APBD yang sama jumlahnya dengan APBD 2014 dengan mengeluarkan Peraturan
Gubernur yang disetujui oleh Menteri Dalam Negeri. Perbedaan anggarannya tidak
terlampau jauh selisihnya antara tahun lalu dan tahun ini: pada 2014, APBD DKI
Jakarta adalah Rp 72,9 triliun sementara RAPBD 2015 adalah Rp 73, 083 triliun;
naik 0.24%. [1]
Sehingga mengorbankan beberapa program senilai Rp 183 miliar
telah menjadi pilihan Gubernur Ahok. Di lain pihak, langkah-langkah yang
dilakukan oleh DPRD DKI Jakarta belakangan ini dapat pula kita tanggapi sebagai
BATNA DPRD; makzulnya Gubernur Ahok apabila terbukti bersalah melanggar
peraturan melalui Panitia Hak Angket yang dilaksanakan di DPRD DKI Jakarta
untuk meluruskan keabsahan RAPBD DKI Jakarta 2015.[ii]
Tindakan melaporkan Gubernur Ahok ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri dengan enam
pasal yang disiapkan juga termasuk alternatif yang bisa diambil DPRD DKI
Jakarta. Beberapa pasal yang akan diangkat adalah Pasal 263, 268, 264 KUHP
tentang Pemalsuan, Pasal 441 tentang Penyalahgunaan Wewenang, Pasal 209 tentang
Suap, dan Pasal 268 tentang Pemalsuan Dokumen Negara.[iii]
Perlu diketahui, tanpa kita sadari,
semakin bagus BATNA kita maka semakin besar kekuatan kita dalam perundingan
itu. Banyak orang mengira bahwa kekuatan dalam negosiasi terletak pada harta,
koneksi politik, kekuatan badan, juga senjata. Tidak. Faktanya, kekuatan yang
paling berpengaruh pada sebuah negosiasi adalah seberapa menarikkah opsi lain
apa bila perjanjian tersebut tidak tercapai? Memiliki segala kekuatan tetapi
tidak memiliki opsi-opsi cadangan tidak menjadikan kekuatan kita eksis.
Sehingga sebagai pihak yang bertempur untuk mencapai sebuah hasil, setidaknya
BATNA-nya juga harus dikembangkan.[iv]
Caranya dengan: Satu, menulis semua hal yang dapat dilakukan apabila
persetujuan tidak tercapai. Dua, mengembangkan ide-ide yang menjanjikan dan
membuatnya menjadi alternatif yang bisa langsung dilaksanakan. Tiga, memilih
opsi terbaik dari semua pilihan yang dimiliki. Mengembangkan ide-ide yang
menjanjikan dan menjadikannya kongkrit sangatlah penting. Karena secara manusiawi,
kita cenderung membesarkan agregat kemungkinan kesempatan alternatif akan terus
ada, padahal bisa saja tidak. Misalkan DPRD memiliki BATNA menghapus program
pengadaan mesin pencetak 3D dari sekolah-sekolah di Jakarta Selatan, Timur,
Barat, dan Pusat, maka DKI Jakarta dapat menghemat Rp 190,5 miliar, sehingga
RAPBD DPRD DKI Jakarta jadi lebih slim
dan dapat diterima Gubernur? Atau bagaimana dengan membangun koneksi politik
dengan pihak ketiga agar dapat meyakinkan Gubernur? Jikalau opsi-opsi yang
didaftar sudah tergambar jelas, sebaiknya dipastikan kemungkinan seluruh
anggota DPRD DKI Jakarta akan menyetujuinya atau setidaknya mayoritas suara
sehingga berpengaruh signifikan pada keputusan yang diambil DPRD DKI Jakarta.
Penanganan perselisihan dengan cara
melapor ke polisi di Jakarta sudah menjadi hal yang biasa dimana pihak yang
merasa dirugikan tidak akan sungkan mengajukan aduan ke Kepolisian. Melihat
keamanan di Jakarta, seperti yang dikutip dari situs resmi Kepolisian Daerah
Metropolitan Jakarta Raya, mengikuti perkembangan kota yang begitu progressif
di ibukota, ada empat bentuk ancaman kejahatan yang diantisipasi oleh pihak
Kepolisian; ancaman kriminalitas, ancaman terorisme, ancaman kejahatan korupsi,
dan ancaman kejahatan narkoba.[v]
Dengan jumlah personel 27.895 orang, dibandingkan dengan penduduk Jakarta yang
berjumlah 12,7 juta orang pada siang hari, polisi dan penduduk berbanding 1:455.[vi]
Apakah artinya untuk 106 anggota DPRD DKI Jakarta hanya ada seperempat polisi
(bukan satu) yang dapat menangani kasusnya?[vii]
Tidak. Total jumlah suara sah pemilih di daerah pemilihan DKI Jakarta pada
Pemilu Legislatif 2014, yaitu 4.891.034 orang, dengan kata lain ada hampir lima
juta penduduk Jakarta memberi wewenang politis kepada anggota dewan yang
dipilihnya untuk melaporkan Gubernur Ahok ke Kepolisian Daerah Metropolitan
Jakarta Raya.[viii]
Dari jumlah tersebut, 2.472.130 orang diantaranya adalah pemilih Joko Widodo
dan Ahok pada Pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta 2012.[ix]
Jika dipandang dari sudut ideologi,
partai-partai yang menduduki kursi-kursi di DPRD DKI Jakarta adalah partai yang
berideologi Pancasila sebagai dasarnya. Maka apabila kita tengok ke sila ke
empat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan perwakilan,” tidak semestinya DPRD dan Kegubernuran berselisih
seperti ini.
Pada kondisi terkini, DKI Jakarta tidak
memiliki sumber kekayaan alam (SKA) sendiri, tetapi kota ini menjadi basis
utama pergerakan politik, bisnis, pendidikan, dan lainnya untuk seluruh
Indonesia. Sumber kekayaan Jakarta terletak di atas tanah-tanahnya, di dalam
masyarakatnya yang heterogen yang menjadikan Jakarta semaju sekarang. Sehingga
di Jakarta segalanya dapat menjadi komoditas yang menghasilkan uang.
Perekonomian di Jakarta juga adalah yang termaju di Indonesia. Dalam konflik
yang melibatkan uang, masalah akan lebih rumit untuk diselesaikan dibandingkan
apabila “taruhan”nya biasa saja. Menurut Professor Jeffrey Pugh, untuk
menyelesaikan sebuah perundingan, ada dua hal yang perlu diingat dan dijadikan
dasar tolak ukur pencapaian resolusi: Pertama,
hubungan jangka panjang. Kedua, hal
yang dipertaruhankan. (J. Pugh, komunikasi kolese, 9 Maret 2015). Apabila yang
dipertaruhan kecil namun berdampak besar kepada hubungan ke depan maka cara
yang ditempuh adalah dengan menyesuaikan diri. Contoh sederhananya adalah
hubungan personal dalam hal asmara. Apabila yang dipertaruhkan tinggi, tetapi prediksi
hubungan jangka panjangnya kecil layaknya transaksi bisnis maka penyelesaiannya
adalah dengan gaya yang kompetitif layaknya tawar-menawar. Namun apabila yang
dipertaruhkan besar dan pengaruhnya pada hubungan jangka panjang juga besar,
maka hal tersebut harus mendapatkan perhatian yang seimbang. Dalam hal ini
penyelesaiannya harus dengan kompromi atau dengan ide penyelesaian yang
kreatif. Maka jika kita letakkan posisi Rp 12,1 triliun dalam kotak “taruhan”,
lalu hubungan eksekutif dan legislatif yang harus terus berjalan bersama untuk
membangun Jakarta pada kotak hubungan jangka panjang, maka penyelesaian konflik
kedua pihak ini perlu dengan kompromi karena tidak banyak cara kreatif
membesarkan “kue” RAPBD DKI Jakarta 2015. Hal penting yang harus diingat untuk
mencapai titik temu adalah kedua pihak harus yakin bahwa titik temu tersebut,
meskipun kurang begitu berkenan di hati, adalah hasil terbaik yang akan mereka
capai. Di sini lah juga penekanan pertimbangan pentingnya kelanggengan hubungan
jangka panjang. Dalam hal ini juga perlu diingat adanya komitmen yang harus
dijaga. Semakin banyak orang yang mengetahui pernyataan dan komitmen pihak
tertentu makan akan semakin sulit untuk mengubah komitmen tersebut.[x]
Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengetahui perselisihan antara
Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta, sehingga komitmen yang dihasilkan haruslah
dijalankan oleh kedua belah pihak.
Karena publik sudah tahu tentang perseteruan
ini, dapat kita lihat perilaku sosial warga Jakarta yang berkembang sejak tahun
2012. Pergerakan via media sosial. Tak bisa dipungkiri, semenjak Revolusi Mesir
tahun 2011, seluruh dunia tahu bagaimana efek media sosial dapat melumpuhkan
pemerintahan Husni Mubarak yang sudah berdiri kukuh selama 30 tahun di Mesir.
Meskipun fenomena penggunaan sosial media sudah dimulai sejak tahun 2005 ketika
Facebook muncul, namun momentum penggunaan media sosial yang terasa sekali di
Jakarta adalah sejak Pemilihan Gubernur 2012 yang memenangkan Joko Widodo dan
Ahok ke kursi DKI Satu dan Dua. Kartika Djoemadi, Aktifis Pergerakan Media
Sosial, hal tersebut dibenarkan adanya kalau media sosial sudah menjadi cabang
dari perilaku sosial warga Jakarta (K. Djoemadi, komunikasi personal, 11 Maret 2015).
Jika kita pantau di Twitter, ada dukungan deras kepada Gubernur Ahok dengan
dipimpin oleh akun @temanAhok dan dibantu #gueAhok dan #saveAhok.[xi]
Tema utamanya adalah “Lawan Begal APBD”. Begal pun adalah kata yang sedang
trendi di Indonesia karena kejahatan motor yang sedang marak. Tidak bisa
dipungkiri, penggunaan kata yang familiar dan sedang trendi juga sudah menjadi
ciri khas warga Indonesia. Apakah ini dapat dikategorikan sebagai taktik
Gubernur Ahok untuk memenangkan perselisihan ini? Bisa jadi. Di lain pihak,
bermunculan juga akun-akun baru di Twitter yang menamakan diri sebagai Abraham
Lunggana. Sehingga perseteruan antara Gubernur dan DPRD juga tanpa diragukan
lagi sudah masuk ranah sosial media karena pengaruh perilaku sosial warga
Jakarta sekarang. Perbedaan budaya orang-orang yang berdomisili di Jakarta juga
telah hilang ketika masuk ke medium elektronik. Masyarakat Jakarta yang
heterogen menjadi lebih jelas terlihat ketika dibaca melalui akun media sosial
pribadi siapapun dengan intonasi apa pun sesuai logika pembaca yang sudah pasti
dipengaruhi dan berpengaruh kepada budaya asal orang tersebut.
Dalam proses tawar-menawar distributif, tidak
biasanya pihak tertentu memperlihatkan apa target dan alternatif yang
dimilikinya. Tetapi apabila situasi tertekan oleh tenggat waktu atau deadline yang pendek, pihak-pihak yang
berseteru dapat menjelaskan apa targetnya secara jelas.[xii]
Seperti yang tampak dalam perselisihan ini, Kementerian Dalam Negeri memberikan
tenggat waktu satu minggu untuk menyelesaikan perselisihan pasca proses mediasi
hingga 13 Maret 2015, sehingga BATNA yang dimiliki oleh kedua belah pihak dapat
terlihat jelas di berita-berita nasional. Penelitian membuktikan bahwa banyak
sekali perjanjian yang dilalui dengan pendekatan distributif ini dapat tercapai
apabila tenggat waktunya sudah dekat selain itu para pihak yang berlawanan akan
cenderung mengurangi permintaan yang ada di awal bila keduanya dihadapkan pada
perihal kepentingan yang sama. Dalam hal ini, salah satunya adalah perlunya
pegawai negeri sipil DKI Jakarta diberi gaji bulanan, termasuk anggota DPRD
yang sedang berselisih memiliki haknya.
Mengenai letupan emosi yang menguap dalam
proses mediasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, ada hal yang perlu
diingat pula dalam proses resolusi perselisihan: kunci untuk perjanjian yang
sukses terkadang tidak terletak pada detil teknis, tetapi pada cara bagaimana
menyalurkan emosi dengan baik sehingga diskusi dapat berjalan sesuai ekspektasi
umum.[xiii]
Pada kasus tertentu, amarah bisa menjadi efek positif dalam sebuah perundingan.[xiv]
Namun, pada kasus lainnya amarah bisa menyebabkan perundingan menjadi keruh.
Hal itu disebabkan karena tiga hal ini: itu mempersempit fokus kita yang
tadinya menyangkut hal yang lebih besar menjadi lebih kecil karena kita jadi
lebih terfokus pada rasa kesal dan amarah, itu juga membuat buram objektifitas
kita karena karena kita kehilangan rasa percaya terhadap pihak lain, dan itu
pun menjadikan kita salah arah karena bukannya lagi fokus pada masalah utama
tetapi juga memiliki hasrat untuk membalas pihak lawan perundingan.[xv] Namun
di sisi lain, ada taktik negosiasi Bola Keras yang menggunakan amarah sebagai
alat untuk mendapatkan target, yaitu intimidasi dan tindakan agresif.[xvi]
Pada umumnya, banyak sekali aksi-aksi yang dapat dikategorikan sebagai gerakan
intimidasi seperti penggunaan amarah, legitimasi, dan rasa bersalah. Kemarahan
yang meledak dapat mempengaruhi jalannya negosiasi dengan cara membuyarkan
fokus resolusi yang tadinya untuk hal tertentu menjadi ditambahi dengan
faktor-faktor perilaku yang tidak mengenakkan yang akhirnya membuat pihak yang
tersinggung kehilangan fokus atas tujuan utamanya. Berada dalam posisi semacam
ini dapat mengancam hasil perjanjian yang direncanakan. Dari yang inginnya A
dan B, kedua belah pihak dapat berakhir dengan hanya hasil A atau tidak dapat
apa-apa sama sekali. Taktik intimidasi ini didesain untuk membuat yang
mengintimidasi menjadi merasa lebih kuat dan yang terintimidasi menjadi
menggunakan emosi dalam mengambil keputusan, bukannya menggunakan kepala
dingin. Ada beberapa cara untuk berhadapan dengan taktik intimidasi ini, antara
lain; mengingat kembali alasan dan tujuan dilakukannya perjanjian,
mendiskusikan bagaimana kita sebagai pihak yang bersebelahan ingin dihormati
layaknya kita akan menghormatinya, juga mengutus tim khusus yang memiliki
pandangan lain dalam menyikapi amarah. Karena tidak semua orang dapat
tersinggung dengan hal-hal tertentu, sehingga efek intimidasi tidak dapat mampu
mempengaruhinya. Sementara itu, mengenai tindakan agresif yang penulis sebutkan
di atas adalah sebutan dari beberapa tindakan semacam ini: menekan demi mendapatkan
bagian konsesi yang lebih besar, meminta penawaran terbaik di awal pertemuan,
dan meminta pihak lawan untuk menjelaskan detil perjanjian dengan rinci yang
mana jika dipandang dari sudut lain, hal ini akan membuat nervous pihak yang harus menjelaskan detil lagi dan lagi. Cara
terbaik untuk menghadapi taktik ini adalah dengan menghentikan proses negosiasi
sementara untuk mengingatkan kembali bahwa hasil yang ingin dicapai adalah yang
berdasarkan kebutuhan dan kepentingan, bukanlah dari rasa kesal karena dikonfrontasi
oleh emosi pihak yang mengintimidasi.
Dalam menganalisa perselisihan yang
terjadi antara Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta, ada dua jalan yang bisa
ditempuh ke dua belah pihak. Pertama,
melihat kondisi pihak-pihak berperkara yang tidak ingin kembali ke meja
perundingan lagi, maka perlu ada komunikasi yang dibangun, bisa secara langsung
atau melalui pihak ketiga, tentang mengapa menolak kembali ke meja perundingan.
Pembicaraan yang dibangun tidaklah dengan tema menyalahkan karena tidak mau
lagi bernegosiasi, tetapi mencari jawaban utama mengapa tidak ingin lagi
kembali rembukan.[xvii]
Apakah karena gengsi? Atau pertemuan berikutnya diekspektasi akan berakhir
sama? Karena pada akhirnya dalam beberapa tahun ke depan, Gubernur dan anggota
DPRD akan kembali berjumpa pada rapat anggaran tahunan. Rapat yang sama dengan
orang yang sama, di tempat yang sama, hanya beda tahun dan angka anggarannya. Di
akhir, dipastikan apakah langkah tersebut yang akan diambil demi mencapai
kesepakatan atau ada alternatif lain yang ingin ditawarkan. Kedua, menggunakan prosedur satu teks.[xviii]
Hal ini dilakukan oleh mediator yang dipercaya. Dalam hal ini adalah
Kementerian Dalam Negeri. Prosedur satu teks ini adalah pendekatan untuk
melihat dan memperlakukan masalah dengan lebih sederhana. Pertanyaan yang
diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan yang menyentuh dasar mengapa hasil akhir
harus ada beserta rincian programnya. Teknik ini akan memakan waktu sedikit
lebih lama karena menggunakan pihak ketiga yang akan bolak-balik dari pihak
satu dan lainnya tetapi dengan hasil yang dapat secara sederhana dan gamblang
untuk dipahami juga diterima oleh kedua belah pihak. Proses ini hampir sangat
esensial untuk negosiasi yang melibatkan organisasi besar dan kehadiran
mediator sangatlah diperlukan.[xix]
Kelompok-kelompok yang berseteru perlu jalan untuk memahami kondisi dengan
lebih sederhana tanpa mengorbankan hasil akhir yang semestinya bagus juga.
Perlu diketahui, dalam langkah ini, mediator tidak memerlukan persetujuan kedua
belah pihak dulu untuk memulai. Draf atau konsep yang dikehendaki pihak
mediator dapat langsung dibuat. Begitu jadi, diharapkan langsung meminta feedback dari pihak-pihak yang berseteru
dan terus di-follow up sampai keduanya bertemu dalam zona kemungkinan
bersepakat. Bahkan kedua belah pihak pun tidak perlu bertemu dulu untuk
akhirnya berunding.
Kesimpulan
Pentingnya manajemen konflik di ibukota Jakarta
sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Dengan intensitas pertemuan berbagai macam
organisasi berikut kebijakan-kebijakan yang diambil secara tradisional maupun
progressif sesuai dengan budaya organisasi tersebut, konflik akan menjadi
sesuatu yang tak terelakkan jika sudah mencapai suatu poin ketidak sepemahaman.
Diperlukan adanya kesadaran untuk menggunakan strategi-strategi tertentu untuk
menghindari konflik yang dapat berakibat mengancam ketahanan nasional. Setiap permasalahan
memiliki akar yang dapat ditemukan dan dihadapi sesuai teknik-teknik resolusi
konflik yang sudah dibuktikan melalui pengalaman-pengalaman negosiator dan
penelitian-penelitian di tingkatan akademis. Negosiator ulung juga dapat gagal
sewaktu-waktu dan ide kreatif dari manapun itu asalnya juga punya
kesempatannnya untuk menyelesaikan masalah.
[1] Rifai, B., Durohman, I., Hikmat, I.
(2015). Ontran-ontran Lulung dkk. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari
majalah.detik.com/
[ii] Durohman, I., Yumiyanti,
I. (2015). Abraham 'Lulung' Lunggana: Bukti ditunjukkan Allah Ahok langgar UU. Majalah
Detik. Edisi 171. Diambil dari majalah.detik.com/
[iii] Rifai, B., Durohman, I., Hikmat, I.
(2015). Ontran-ontran Lulung dkk. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari
majalah.detik.com/
[iv] Fisher, R., Ury, W. (2011). Getting to yes (3rd ed).
Patton, B. (Ed.). New York: Pinguin Books.
[v] Karuk, M. Polda
Metropolitan Jakarta Raya secara garis besar. (n.d.) Diambil pada 11 Maret
2015 dari Polda Metro Jaya: http://www.metro.polri.go.id/satker-jajaran-polda-metro-jaya
[vii] Jumlah kursi & fraksi
DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019. (n.d.) Diambil pada 11 Maret 2015 dari DPRD
Provinsi DKI Jakarta: http://www.dprd-dkijakartaprov.go.id/wp/fraksi/fraksidprddkijakartaprov/
[viii]
Lihat hasil total penjumlahan suara sah pemilih daerah pemilihan DKI Jakarta I,
II, dan III di Rekapitulasi jumlah perolehan suara sah partai politik secara nasional
dalam pemilu dalam pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat tahun 2014. (2014). Komisi
Pemilihan Umum. Diambil dari http://www.kpu.go.id/koleksigambar/952014_Penetapan_Hasil_Pileg.pdf
[ix] Pemilihan umum Gubernur
DKI Jakarta 2012. (n.d.) Diambil pada 11 Maret 2015 dari Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2012
[x] Lewicki, R. J., Saunders,
D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation.
34-75.
[xi] Hikmat, I., Rifai, B.,
Durohman, I., Shintami, M., Khabibi, I., Wiguna, O. (2015). Saat Ahok tolak
'proyek nenek lo'. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari majalah.detik.com/
[xii] Lewicki, R. J., Saunders,
D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation.
34-75.
[xiii]
Garai,
G., Pravda, S. Defusing emotions of buyers and sellers in getting deals done. Mergers & Acquisitions 23-28.
[xiv] Daly, J.
(1991). The effects of anger on negotiations over mergers and acquitions. Negotiation Journal 7: 31-39.
[xv] Adler, R.
S., Rosen, B., Silverstein, E. M. (1998). Emotions in negotiation: how to
manage fear and anger. Negotiation
Journal. April 1998: 161-177.
[xvi] Lewicki, R. J., Saunders,
D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation.
34-75.
[xvii]
Fisher,
R., Ury, W. (2011). Getting to yes (3rd
ed). Patton, B. (Ed.). New York: Pinguin Books.
[xviii]
Idem.
[i] Deutsh, Morton. (1977). The
resolution of conflict (2nd ed.). Bighamton, N.Y: Yale University
Press.
[ii] Moore, Christopher. (1982). The
mediation process: Practical strategies for resolving conflict. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.
[iii] Jakarta. (n.d.) Diambil
pada 10 Maret 2015 dari Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Jakarta
[iv] Lewicki, R. J., Saunders,
D. M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of distributive bargaining. Negotiation.
34-75.
[v] Rifai, B., Durohman, I., Hikmat, I.
(2015). Ontran-ontran Lulung dkk. Majalah Detik. Edisi 171. Diambil dari
majalah.detik.com/
[vi] Nurbilkis, M. (2015, 9 Feb).
Kemendagri: Pemprov DKI mengaku salah format karena sistem e budgeting. Detik. Diambil
dari news.detik.com/
[vii] Sidarta, D. (2015, 13 Feb). Format
e-budgeting RAPBD DKI menjadi model nasional. Geo Times. Diambil
dari geotimes.co.id/
[viii]
Lewicki, R. J., Saunders, D.
M., Barry, B. (n.d.) Strategy and tactics of integrative negotiation. Negotiation.
76-111.