12
Sep
2014
Analisa Kekuatan Konflik di Indonesia dalam Pilpres 2014 Berkaca dari Perang di Suriah, Libya, dan Palestina
/
0 Comments
Arab
Spring yang kita
kenal adalah hasil dari “sukses”nya rakyat Tunisia meruntuhkan rezim Ben Ali
yang sudah menduduki posisi tertinggi Tunisia selama 23 tahun. Namun, berakhirnya
Revolusi Melati itu tidak hanya sebuah penutupan untuk negara beribukota Tunis
ini. Dinamakan Revolusi Melati karena bertempat di Bundaran Melati (Meydan
Yasmin) Seluruh pemuda di penjuru Arab berdiri dan menuntut hal yang sama
ke pimpinan negara mereka: ekonomi yang lebih baik, kesempatan kerja, dan
pemberantasan korupsi.
Lalu
mengapa kerusuhan terjadi hingga Arab Spring yang kita kenal ini belum
berakhir efeknya sampai detik pembaca membaca tulisan ini? Ada beberapa faktor
utama, antara lain: kekuatan anak muda, kelangkaan pekerjaan, juga lambatnya
reformasi birokrasi.
Di akhir
tulisan ini, penulis akan memberikan pandangan bagaimana revolusi dan perang
saudara yang terjadi di Libya, Suriah, dan Palestina, belum akan terjadi di
Indonesia berdasarkan faktor-faktor yang melandasi terjadinya perang di
negara-negara tersebut.
(C) Google Search Engine |
Tidak jauh
berbeda dengan revolusi yang diawali di Tunisia dan Mesir, konflik yang terjadi
di Libya dan Suriah pun dilandasi alasan ekonomi. Konflik yang terjadi di Gaza
belakangan ini juga terjadi karena faktor ekonomi, lebih tepatnya kebangkrutan.
Maka dari itu, potensi kerusuhan di Indonesia saat ini tidak bisa disamakan
dengan asal muasal kerusuhan berkepanjangan yang terjadi di negara-negara Timur
Tengah. Kekuatan ekonomi negara ditambah kebijakan pemimpin menjadi kunci utama
penyulut atau peredam konflik.
Jika kita melihat
kekuatan ekonomi Libya di masa pemberontakan itu, maka dapat dirasakan geliat
ketidakpuasan dari masyarakat yang menginginkan pendapatan lebih banyak di saat
penghasilan negara cenderung baik. Demonstrasi dimulai karena tingginya harga
property yang sulit dijangkau. Ketika Kolonel Moammar Qaddafi menjadi pimpinan
tertinggi Libya, salah satu kebijakan awalnya adalah memberikan insentif kepada
rakyatnya per bulan sehingga mereka bisa merasa berkecukupan. Namun, dalam
perjalanan waktu, tidak ada peningkatan insentif sementara harga kebutuhan
pokok meningkat dan kekayaan Libya semakin melimpah, namun dimonopoli oleh
keluarga Qaddafi yang banyak menanamkan hartanya di Italia. Kebijakan yang
serupa juga ada di Arab Saudi dan Kuwait. Sementara Suriah yang adalah negara
berkembang, memulai ideologi sosialisnya sejak tahun 60an sehingga banyak menasionalisasi
perusahaan swasta yang besar. Sebelum revolusi, lingkungan bisnis di Suriah
dirudung masalah kurangnya transparansi dan efisiensi yang menjadi beban untuk
angkatan muda yang meningkat dan membutuhkan pekerjaan. Bashar Al Assad
dianggap gagal merubah kebijakan ekonomi sosialis. Dalam waktu setahun,
demonstrasi yang terjadi di Suriah bertransformasi menjadi konflik sekte yang
melibatkan teroris di dalamnya. Apa yang terjadi di Palestina adalah sebuah
konflik yang memiliki sejarah panjang dan telah ditunggangi motif politik dan
keamanan yang di”sembunyi”kan dibalik alasan agama dan ideologi.
The
scarcity of economy is a big drive in this revolution, frankly speaking. Tetapi terlupakan oleh masyarakat
internasional yang opininya terbawa oleh fakta lainnya: pemerintahan sebelumnya
adalah pemerintahan non-demokratis yang telah berlangsung terlalu lama, kurang
lebih tiga dekade. Bila situasi tersebut dibawa ke ranah Indonesia, alasan
ekonomi tidak bisa membuat kerusuhan yang besar seperti yang terjadi di ketiga
negara tersebut. Meskipun kondisi ekonomi Indonesia juga tidak berada dalam
posisi yang membahagiakan dengan 1 USD setara dengan Rp 11.000, namun perhatian
publik sedang tidak berada dalam arah rentannya kondisi ekonomi Indonesia
karena selama setahun terakhir terbuai dengan gegap gempita pemilu (legislatif
dan presiden). Public yang penulis maksud di sini adalah public yang memiliki
penghasilan menengah ke bawah. Opini public yang dikendalikan oleh media
membuat masyarakat secara massive membicarakan sedikit topic besar dalam
setahun ke belakang ini: pemilu dan acara hiburan hits terbaru. Sementara
kekhawatiran terhadap ekonomi Indonesia hanya dimiliki oleh pelaku bisnis,
pemegang jabatan, dan sector perbankan. Tingkat pengangguran di Indonesia pun
berada di rata-rata 5,7% tahun ini. Selama media di Indonesia pasca pelaksanaan
Pemilu Presiden tidak langsung mengangkat isu ekonomi secara dramatis, maka
kerusuhan dengan faktor pemicu seperti yang terjadi di Timur Tengah tidak akan
terjadi.
Terjadinya
Arab Spring di Januari 2011 adalah sebuah bentuk solidaritas seluruh masyarakat
Arab menanggapi tragisnya efek ekonomi yang menekan rakyat kelas bawah yang
tidak sanggup menghidupi keluarganya karena tidak mampu membayar “angsuran”
kepada petugas keamanan di sebuah pasar di Sidi Bouzid, Selatan Tunis, Tunisia.
Seorang penjual sayur muda, Mohamed Bouazizi, membakar dirinya sendiri karena
tidak tahan dengan kesulitan ekonomi pada 17 Desember 2010 dan meninggal pada 3
Januari 2011. Tidak lama setelah itu di Aljazair tiga orang ikut membakar
dirinya karena alasan yang sama. Hal ini membangunkan kesadaran seluruh anak
muda di Arab bahwa sementara rakyat kecil hidup semakin miskin,
pemimpin-pemimpinnya yang semakin tua malah semakin kaya. Di Mesir sendiri,
satu orang membakar dirinya dengan alasan yang sama. Sementara Tunisia dan
Mesir membereskan sendiri masalahnya, Libya, Suriah, dan Palestina, menghadapi situasi
berbeda. Pemberontak di Libya yang berbasis di kota Benghazi (kota ke dua
terbesar setelah Ibukota Tripoli) disokong bantuan dari pemerintahan Perancis. Dimulai
dengan protes besar pada 15 Februari 2011, lepaslah tembakan petugas keamanan
ke kerumunan demonstran. Demonstrasi ini berkembang menjadi pemberontakan yang
menyebar di seluruh penjuru Libya, hingga akhirnya menaklukkan Ibukota Tripoli.
Pemberontak di Suriah mendapatkan pasokan senjata gelap melawan militer Suriah
yang disokong Iran dan Rusia. Sementara, Palestina mendapatkan minim bantuan
dari sekutu Arab dibandingkan Israel yang mendapat dukungan penuh dari Amerika
Serikat. Menurut akademisi Ilmu Politik Universitas Kairo Mesir, pembunuhan
terhadap Raja Faisal dari Kerajaan Saudi pada tahun 1975, menjadi alarm kencang
bagi seluruh pemimpin jazirah Arab untuk tidak “melawan” pada keinginan Amerika
Serikat. Diketahui, pada Perang Arab – Israel di tahun 1973, Raja Faisal
memotong pasokan minyak ke Barat karena dukungan mereka terhadap Israel. Saat
itu Kissinger mengancam Raja Faisal akan mengebom ladang minyak Saudi apabila
sang Raja tidak juga membatalkan boikotnya, namun tidak digubris oleh Raja
Faisal. Di tahun 1975, Raja Faisal tewas terbunuh setelah keponakannya sendiri,
Pangeran Musaed, yang baru saja kembali dari Amerika Serikat, menembaknya point
blank sebanyak tiga kali di sebuah open house kerajaan. Semenjak
itu, hampir semua pemegang kebijakan di Timur Tengah menyelamatkan kursi mereka
masing-masing. Meskipun begitu, dalam pernyataan resmi Kerajaan Saudi, Pangeran
Musaed dinyatakan memiliki kelainan kejiwaan. Imbasnya, Palestina sampai
sekarang belum lagi mendapatkan sokongan yang kuat dari negara-negara tetangga
Arab.
Konflik
antara Gaza dan Israel yang baru-baru ini terjadi ditengarai disebabkan oleh kebangkrutan
pihak Hamas yang tak sanggup lagi membayar gaji pegawai-pegawai
pemerintahannya. Menurut Dr. Azeem Ibrahim, akademisi Harvard Kennedy School of
Government, Hamas secara sengaja meluncurkan serangan kepada pihak Israel
dengan harapan (dan tentu saja) Israel akan membalas. Diculiknya tiga anak muda
Israel menjadi pemicu serangan tanpa henti Israel terhadap Hamas di jalur Gaza
hingga hari ini. Hamas mengharapkan bantuan seluruh negara muslim yang akan
mengucur deras ketika topik kezaliman terhadap Gaza kembali mencuat ke
permukaan. Bantuan dalam bentuk apapun, hanya bisa diberikan melalui Perbatasan
Rafah, Mesir. Inilah yang kemungkinan besar diharapkan oleh Hamas, Perbatasan
Rafah dibuka dengan bebas agar bantuan bisa masuk, terutama dalam bentuk dana.
Tapi sayangnya, pada saat yang sama Hamas bersekutu dengan Qatar dan Turki yang
menginginkan posisi negara terkuat di Timur Tengah pasca Revolusi Arab Spring
menghantam Mesir. Dalam sejarahnya, Mesir menjadi negara yang paling dihormati
di Timur Tengah sebagai sebuah kekuatan penyeimbang di tengah kemelut apapun
yang terjadi di regional gurun tersebut. Salah satu alasannya karena Mesir
memiliki militer yang kuat. Posisi inilah yang sejak 2011 diperebutkan oleh
Qatar juga Turki, sementara Mesir mendapatkan dukungan dari Arab Saudi dan Uni
Emirat Arab. Penawaran gencatan senjata damai yang ditawarkan oleh Mesir
beberapa waktu lalu ditolah oleh Hamas. Menurut Koresponden Diplomatik Senior
Koran Al Hayat, Raghida Dergham, Mesir juga tidak akan segampang itu membiarkan
Israel melemparkan urusan Gaza ke Mesir dan Hamas melepaskan warganya untuk
diurus oleh Mesir. Negara Mesir sendiri di tahun 2012 menghadapi masalah dengan
pengungsi dari Palestina yang membludak masuk ke Mesir pasca Perang Delapan
Hari antara Israel dan Gaza. Selain melonjaknya populasi orang asing di Mesir,
para pengungsi juga banyak yang akhirnya meminta pengakuan kewarganegaraan dari
Mesir; dengan alasan anak keturunan darah campuran hingga tempo waktu tinggal yang
sudah sangat lama di Mesir. Selain itu, pelengseran presiden sebelumnya,
Mohamed Morsi, yang berlatar belakang Ikhwanul Muslimin menjadi sesuatu yang
membuat hubungan antara Mesir dan Hamas tidak lagi hangat. Sebelumnya, pada
masa pemerintahan Mursi yang berumur satu tahun, Mesir dan Hamas memiliki
hubungan yang baik karena Hamas mendukung eksistensi Ikhwanul Muslimin.
Anak-anak muda duduk dah berdiri di puncak tiang listrik dengan bendera Mesir dan banner demonstrasinya. (C) LMA |
Sehingga,
apabila kita melakukan analisa untuk Indonesia mengenai perihal potensi
kerusuhan berkaca dari negara-negara Timur Tengah; Suriah, Libya, dan Palestina
maka dapat dikatakan Indonesia belum berpotensi mengalami kerusuhan karena
tidak/belum ada lagi faktor pemicu kerusuhan di Indonesia, terutama di ibukota.
Potensi ini sempat mencuat di periode satu tahun lalu di saat Dollar menguat
dan melemahnya ekonomi Indonesia tertutupi oleh euphoria pemilihan legislative
yang sudah menjangkau kelas menengah ke bawah. Namun, patut kita garis bawahi
bahwa dasar konflik di Palestina tidak bisa dijadikan acuan untuk konflik di
Indonesia karena perebutan wilayah kekuasaan yang dibumbui dengan isu agama
menjadi tidak bisa berkembang pesat di Indonesia karena asas-asas Pancasila
yang sudah mendarah daging di Indonesia dan selalu bisa menjadi peredam perihal
semacam ini, meskipun tidak disadari oleh masyarakat sendiri. Sehingga, acuan
potensi konflik dapat ditarik dari Libya dan Suriah saja yang lebih
kontemporer.
Kekuatan
anak muda, dapat dilihat dalam pemilu 2014 ini sebagai salah satu motor besar
yang menggerakkan roda pergerakan. Sama dengan di Libya dan Suriah pada tahun
2011, juga ditandai dengan bergeraknya kekuatan modern yang dikuasi oleh anak
muda (seperti media sosial). Meskipun di tengah jalan, apa yang dimulai oleh
anak-anak muda ini malah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lainnya yang
akhirnya mendapatkan porsi perhatian lebih besar dari yang tertuntut karena
penggunaan senjata yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Pada akhirnya,
banyak anak muda yang menarik diri dari konflik dan malah berbalik mendukung pemerintahan
yang sah. Ini terjadi di Suriah dimana ketika diadakan pemilu presiden kembali,
masyarakat lebih memilih Bashar Al Assad sebagai presiden mereka ketimbang
calon lainnya. Al Assad menang dengan 88,7% suara mengalahkan kandidat lainnya;
Hassan Al Nouri dari National Initiative for Administration and Change in Syria
(NIACS) memperoleh 4,3% suara dan calon independen Maher Hajjar mendapatkan
3,2% suara. Sementara kondisi yang lebih naas terjadi di Libya, pemerintahan
baru yang terpilih nampaknya belum mampu mengendalikan eksistensi para milisi
yang sebelumnya sudah ikut berperang dalam pemberontakan dan juga sudah
memegang senjata sendiri. Perlu diketahui, Libya memiliki salah satu sumber
daya minyak terbaik di dunia, sehingga banyak kepentingan negara lain di negara
gurun tersebut.
Membicarakan
angkatan muda tidak lepas dari topik kesempatan kerja. Tingkat pengangguran di
Tunisia pada Januari 2011, ketika revolusi baru dimulai, mencapai 13% dari
total penduduk 10 juta orang. Kini, persentase pengangguran meningkat ke 15,2% walaupun
sudah menurun dari tahun 2012 ketika masa transisi pemerintahan di mana tingkat
pengangguran mencapai 18,9%. Negara “pelopor” Arab Spring ini pun belum lagi
kembali ke posisi pra revolusi. Membicarakan Suriah dan Libya yang masih
dilanda krisis keamanan, data terakhir yang masuk mengenai Suriah menunjukkan
bahwa sebelum revolusi, di 2010 negara ini memiliki pengangguran sebanyak 8,3%
dan melonjak ke 14,9% dari total populasi 22,85 juta orang pada tahun 2014.
Libya menjadi negara kaya minyak dengan tingkat pengangguran yang tinggi di
2011, di posisi 19,5% dari populasi 6,2 juta penduduk. Sementara di Palestina,
dengan populasi 4,29 juta orang, tingkat penganggurannya melonjak ke 27,5%
meskipun sudah menurun satu poin ke 26,2% baru-baru ini.
Dengan tingkat
pengangguran yang tinggi, negara-negara ini menjadi rentan terhadap
permasalahan sosial dan politik apalagi apabila tidak ada kehadiran pemimpin
yang akan keras dalam pelaksanaan kebijakannya. Kurangnya transparansi dan
pengaturan administrasi yang sering mengulur waktu juga menjadi alasan tambahan
bagaimana percepatan ekonomi di negara-negara yang terkena Arab Spring ini
memakan waktu yang tidak sebentar. Reformasi birokrasi sangat dibutuhkan oleh
negara-negara ini. Indonesia sudah memulai reformasi birokrasinya beberapa
tahun yang lalu sehingga mempermudah perkembangan negara.
Motif
politik untuk menumbangkan pimpinan negara belum lagi ditemukan pada situasi
terkini di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan ending yang
baik di akhir kepemimpinannya karena isu pemilihan umum presiden yang tidak
menyinggung keberadaannya sebagai Presiden begitu pula Wakil Presiden Budiyono.
Sedikit sekali SBY disinggung kecuali mengenai pertemuan dengan Capres-capres
di Pemilu 2014 ini. Adanya persidangan di KPK menganai kasus Anas Urbaningrum (yang
menjadi bulan-bulanan masyarakat terhadap image Partai Demokrat) di masa
kampanye Pilpres pun tidak lagi menjadi perhatian publik. Sementara posisi Joko
Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih yang akan
dilantik pada 20 Oktober tidak berpotensi untuk mengakibatkan kerusuhan.
Kerusuhan, apabila kita menggunakan faktor kunci semacam di Libya dan Suriah,
akan terjadi apabila ada tokoh penting (yang berhubungan erat dengan para
kandidat) yang tewas dalam perjalanan ini dan framing media dibentuk
secara dramatis seolah memojokkan pihak tertentu. Banyak yang mengantisipasi
kekuatan Prabowo Subianto yang akan membuat kerusuhan apabila tidak memenangkan
pemilu. Dari kemampuannya menjadi tokoh di kerusuhan 1998, kegiatan-kegiatan
Kopassus di wilayah Timur Indonesia, keberadaannya memang dapat membuat banyak orang bergidik. Namun, apabila bercermin lagi kepada kejadian di Suriah dan Libya, dari dimulai
dari kejadian di Tunisia, maka faktor satu orang dengan satu kubu besarnya yang
memiliki motif politik tidak cukup kuat untuk membuat kerusuhan masal.
Masyarakat punya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi, ketika itu terganggu
atau sampai batas dimana tidak bisa dicapai lagi pembaruan, maka geliat
masyarakatpun akan terlihat. Ini hukum alam. Selain itu, membuat kerusuhan di
saat seperti ini tidaklah bijak, di saat-saat dimana ekonomi Indonesia sedang
baik, maka hanya akan membawa situasi perkonomian memburuk. Kemungkinan
terburuknya, gerakan-gerakan yang beraliran ekstrim akan menunggangi kerusuhan
dan memperkeruh situasi yang disebabkan oleh adanya Pemilihan Umum Presiden yang
notabene adalah mandat konstitusi.
Sekian dan terima kasih.
Jakarta, 24 Juli 2014
Lathifa Al Anshori
======
Tulisan ini saya buat tertanggal 24 Juli pas habis pengumuman Pilpres dirilis. Saya simpan aja. Tapi baru saya posting sekarang. Bagaimana pun, tulisan ini adalah sebuah analisa yang tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak manapun baik yang tertera dalam tulisan ataupun bagi pembaca blog L'Article ini. Terima kasih.