Analisa Kekuatan Konflik di Indonesia dalam Pilpres 2014 Berkaca dari Perang di Suriah, Libya, dan Palestina

/
0 Comments

Arab Spring yang kita kenal adalah hasil dari “sukses”nya rakyat Tunisia meruntuhkan rezim Ben Ali yang sudah menduduki posisi tertinggi Tunisia selama 23 tahun. Namun, berakhirnya Revolusi Melati itu tidak hanya sebuah penutupan untuk negara beribukota Tunis ini. Dinamakan Revolusi Melati karena bertempat di Bundaran Melati (Meydan Yasmin) Seluruh pemuda di penjuru Arab berdiri dan menuntut hal yang sama ke pimpinan negara mereka: ekonomi yang lebih baik, kesempatan kerja, dan pemberantasan korupsi.
Lalu mengapa kerusuhan terjadi hingga Arab Spring yang kita kenal ini belum berakhir efeknya sampai detik pembaca membaca tulisan ini? Ada beberapa faktor utama, antara lain: kekuatan anak muda, kelangkaan pekerjaan, juga lambatnya reformasi birokrasi.
Di akhir tulisan ini, penulis akan memberikan pandangan bagaimana revolusi dan perang saudara yang terjadi di Libya, Suriah, dan Palestina, belum akan terjadi di Indonesia berdasarkan faktor-faktor yang melandasi terjadinya perang di negara-negara tersebut.

(C) Google Search Engine

Tidak jauh berbeda dengan revolusi yang diawali di Tunisia dan Mesir, konflik yang terjadi di Libya dan Suriah pun dilandasi alasan ekonomi. Konflik yang terjadi di Gaza belakangan ini juga terjadi karena faktor ekonomi, lebih tepatnya kebangkrutan. Maka dari itu, potensi kerusuhan di Indonesia saat ini tidak bisa disamakan dengan asal muasal kerusuhan berkepanjangan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah. Kekuatan ekonomi negara ditambah kebijakan pemimpin menjadi kunci utama penyulut atau peredam konflik.

Jika kita melihat kekuatan ekonomi Libya di masa pemberontakan itu, maka dapat dirasakan geliat ketidakpuasan dari masyarakat yang menginginkan pendapatan lebih banyak di saat penghasilan negara cenderung baik. Demonstrasi dimulai karena tingginya harga property yang sulit dijangkau. Ketika Kolonel Moammar Qaddafi menjadi pimpinan tertinggi Libya, salah satu kebijakan awalnya adalah memberikan insentif kepada rakyatnya per bulan sehingga mereka bisa merasa berkecukupan. Namun, dalam perjalanan waktu, tidak ada peningkatan insentif sementara harga kebutuhan pokok meningkat dan kekayaan Libya semakin melimpah, namun dimonopoli oleh keluarga Qaddafi yang banyak menanamkan hartanya di Italia. Kebijakan yang serupa juga ada di Arab Saudi dan Kuwait. Sementara Suriah yang adalah negara berkembang, memulai ideologi sosialisnya sejak tahun 60an sehingga banyak menasionalisasi perusahaan swasta yang besar. Sebelum revolusi, lingkungan bisnis di Suriah dirudung masalah kurangnya transparansi dan efisiensi yang menjadi beban untuk angkatan muda yang meningkat dan membutuhkan pekerjaan. Bashar Al Assad dianggap gagal merubah kebijakan ekonomi sosialis. Dalam waktu setahun, demonstrasi yang terjadi di Suriah bertransformasi menjadi konflik sekte yang melibatkan teroris di dalamnya. Apa yang terjadi di Palestina adalah sebuah konflik yang memiliki sejarah panjang dan telah ditunggangi motif politik dan keamanan yang di”sembunyi”kan dibalik alasan agama dan ideologi.

The scarcity of economy is a big drive in this revolution, frankly speaking. Tetapi terlupakan oleh masyarakat internasional yang opininya terbawa oleh fakta lainnya: pemerintahan sebelumnya adalah pemerintahan non-demokratis yang telah berlangsung terlalu lama, kurang lebih tiga dekade. Bila situasi tersebut dibawa ke ranah Indonesia, alasan ekonomi tidak bisa membuat kerusuhan yang besar seperti yang terjadi di ketiga negara tersebut. Meskipun kondisi ekonomi Indonesia juga tidak berada dalam posisi yang membahagiakan dengan 1 USD setara dengan Rp 11.000, namun perhatian publik sedang tidak berada dalam arah rentannya kondisi ekonomi Indonesia karena selama setahun terakhir terbuai dengan gegap gempita pemilu (legislatif dan presiden). Public yang penulis maksud di sini adalah public yang memiliki penghasilan menengah ke bawah. Opini public yang dikendalikan oleh media membuat masyarakat secara massive membicarakan sedikit topic besar dalam setahun ke belakang ini: pemilu dan acara hiburan hits terbaru. Sementara kekhawatiran terhadap ekonomi Indonesia hanya dimiliki oleh pelaku bisnis, pemegang jabatan, dan sector perbankan. Tingkat pengangguran di Indonesia pun berada di rata-rata 5,7% tahun ini. Selama media di Indonesia pasca pelaksanaan Pemilu Presiden tidak langsung mengangkat isu ekonomi secara dramatis, maka kerusuhan dengan faktor pemicu seperti yang terjadi di Timur Tengah tidak akan terjadi.

Terjadinya Arab Spring di Januari 2011 adalah sebuah bentuk solidaritas seluruh masyarakat Arab menanggapi tragisnya efek ekonomi yang menekan rakyat kelas bawah yang tidak sanggup menghidupi keluarganya karena tidak mampu membayar “angsuran” kepada petugas keamanan di sebuah pasar di Sidi Bouzid, Selatan Tunis, Tunisia. Seorang penjual sayur muda, Mohamed Bouazizi, membakar dirinya sendiri karena tidak tahan dengan kesulitan ekonomi pada 17 Desember 2010 dan meninggal pada 3 Januari 2011. Tidak lama setelah itu di Aljazair tiga orang ikut membakar dirinya karena alasan yang sama. Hal ini membangunkan kesadaran seluruh anak muda di Arab bahwa sementara rakyat kecil hidup semakin miskin, pemimpin-pemimpinnya yang semakin tua malah semakin kaya. Di Mesir sendiri, satu orang membakar dirinya dengan alasan yang sama. Sementara Tunisia dan Mesir membereskan sendiri masalahnya, Libya, Suriah, dan Palestina, menghadapi situasi berbeda. Pemberontak di Libya yang berbasis di kota Benghazi (kota ke dua terbesar setelah Ibukota Tripoli) disokong bantuan dari pemerintahan Perancis. Dimulai dengan protes besar pada 15 Februari 2011, lepaslah tembakan petugas keamanan ke kerumunan demonstran. Demonstrasi ini berkembang menjadi pemberontakan yang menyebar di seluruh penjuru Libya, hingga akhirnya menaklukkan Ibukota Tripoli. Pemberontak di Suriah mendapatkan pasokan senjata gelap melawan militer Suriah yang disokong Iran dan Rusia. Sementara, Palestina mendapatkan minim bantuan dari sekutu Arab dibandingkan Israel yang mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat. Menurut akademisi Ilmu Politik Universitas Kairo Mesir, pembunuhan terhadap Raja Faisal dari Kerajaan Saudi pada tahun 1975, menjadi alarm kencang bagi seluruh pemimpin jazirah Arab untuk tidak “melawan” pada keinginan Amerika Serikat. Diketahui, pada Perang Arab – Israel di tahun 1973, Raja Faisal memotong pasokan minyak ke Barat karena dukungan mereka terhadap Israel. Saat itu Kissinger mengancam Raja Faisal akan mengebom ladang minyak Saudi apabila sang Raja tidak juga membatalkan boikotnya, namun tidak digubris oleh Raja Faisal. Di tahun 1975, Raja Faisal tewas terbunuh setelah keponakannya sendiri, Pangeran Musaed, yang baru saja kembali dari Amerika Serikat, menembaknya point blank sebanyak tiga kali di sebuah open house kerajaan. Semenjak itu, hampir semua pemegang kebijakan di Timur Tengah menyelamatkan kursi mereka masing-masing. Meskipun begitu, dalam pernyataan resmi Kerajaan Saudi, Pangeran Musaed dinyatakan memiliki kelainan kejiwaan. Imbasnya, Palestina sampai sekarang belum lagi mendapatkan sokongan yang kuat dari negara-negara tetangga Arab.

Konflik antara Gaza dan Israel yang baru-baru ini terjadi ditengarai disebabkan oleh kebangkrutan pihak Hamas yang tak sanggup lagi membayar gaji pegawai-pegawai pemerintahannya. Menurut Dr. Azeem Ibrahim, akademisi Harvard Kennedy School of Government, Hamas secara sengaja meluncurkan serangan kepada pihak Israel dengan harapan (dan tentu saja) Israel akan membalas. Diculiknya tiga anak muda Israel menjadi pemicu serangan tanpa henti Israel terhadap Hamas di jalur Gaza hingga hari ini. Hamas mengharapkan bantuan seluruh negara muslim yang akan mengucur deras ketika topik kezaliman terhadap Gaza kembali mencuat ke permukaan. Bantuan dalam bentuk apapun, hanya bisa diberikan melalui Perbatasan Rafah, Mesir. Inilah yang kemungkinan besar diharapkan oleh Hamas, Perbatasan Rafah dibuka dengan bebas agar bantuan bisa masuk, terutama dalam bentuk dana. Tapi sayangnya, pada saat yang sama Hamas bersekutu dengan Qatar dan Turki yang menginginkan posisi negara terkuat di Timur Tengah pasca Revolusi Arab Spring menghantam Mesir. Dalam sejarahnya, Mesir menjadi negara yang paling dihormati di Timur Tengah sebagai sebuah kekuatan penyeimbang di tengah kemelut apapun yang terjadi di regional gurun tersebut. Salah satu alasannya karena Mesir memiliki militer yang kuat. Posisi inilah yang sejak 2011 diperebutkan oleh Qatar juga Turki, sementara Mesir mendapatkan dukungan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Penawaran gencatan senjata damai yang ditawarkan oleh Mesir beberapa waktu lalu ditolah oleh Hamas. Menurut Koresponden Diplomatik Senior Koran Al Hayat, Raghida Dergham, Mesir juga tidak akan segampang itu membiarkan Israel melemparkan urusan Gaza ke Mesir dan Hamas melepaskan warganya untuk diurus oleh Mesir. Negara Mesir sendiri di tahun 2012 menghadapi masalah dengan pengungsi dari Palestina yang membludak masuk ke Mesir pasca Perang Delapan Hari antara Israel dan Gaza. Selain melonjaknya populasi orang asing di Mesir, para pengungsi juga banyak yang akhirnya meminta pengakuan kewarganegaraan dari Mesir; dengan alasan anak keturunan darah campuran hingga tempo waktu tinggal yang sudah sangat lama di Mesir. Selain itu, pelengseran presiden sebelumnya, Mohamed Morsi, yang berlatar belakang Ikhwanul Muslimin menjadi sesuatu yang membuat hubungan antara Mesir dan Hamas tidak lagi hangat. Sebelumnya, pada masa pemerintahan Mursi yang berumur satu tahun, Mesir dan Hamas memiliki hubungan yang baik karena Hamas mendukung eksistensi Ikhwanul Muslimin.

Anak-anak muda duduk dah berdiri di puncak tiang listrik dengan bendera Mesir dan banner demonstrasinya. (C) LMA


Sehingga, apabila kita melakukan analisa untuk Indonesia mengenai perihal potensi kerusuhan berkaca dari negara-negara Timur Tengah; Suriah, Libya, dan Palestina maka dapat dikatakan Indonesia belum berpotensi mengalami kerusuhan karena tidak/belum ada lagi faktor pemicu kerusuhan di Indonesia, terutama di ibukota. Potensi ini sempat mencuat di periode satu tahun lalu di saat Dollar menguat dan melemahnya ekonomi Indonesia tertutupi oleh euphoria pemilihan legislative yang sudah menjangkau kelas menengah ke bawah. Namun, patut kita garis bawahi bahwa dasar konflik di Palestina tidak bisa dijadikan acuan untuk konflik di Indonesia karena perebutan wilayah kekuasaan yang dibumbui dengan isu agama menjadi tidak bisa berkembang pesat di Indonesia karena asas-asas Pancasila yang sudah mendarah daging di Indonesia dan selalu bisa menjadi peredam perihal semacam ini, meskipun tidak disadari oleh masyarakat sendiri. Sehingga, acuan potensi konflik dapat ditarik dari Libya dan Suriah saja yang lebih kontemporer.

Kekuatan anak muda, dapat dilihat dalam pemilu 2014 ini sebagai salah satu motor besar yang menggerakkan roda pergerakan. Sama dengan di Libya dan Suriah pada tahun 2011, juga ditandai dengan bergeraknya kekuatan modern yang dikuasi oleh anak muda (seperti media sosial). Meskipun di tengah jalan, apa yang dimulai oleh anak-anak muda ini malah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lainnya yang akhirnya mendapatkan porsi perhatian lebih besar dari yang tertuntut karena penggunaan senjata yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Pada akhirnya, banyak anak muda yang menarik diri dari konflik dan malah berbalik mendukung pemerintahan yang sah. Ini terjadi di Suriah dimana ketika diadakan pemilu presiden kembali, masyarakat lebih memilih Bashar Al Assad sebagai presiden mereka ketimbang calon lainnya. Al Assad menang dengan 88,7% suara mengalahkan kandidat lainnya; Hassan Al Nouri dari National Initiative for Administration and Change in Syria (NIACS) memperoleh 4,3% suara dan calon independen Maher Hajjar mendapatkan 3,2% suara. Sementara kondisi yang lebih naas terjadi di Libya, pemerintahan baru yang terpilih nampaknya belum mampu mengendalikan eksistensi para milisi yang sebelumnya sudah ikut berperang dalam pemberontakan dan juga sudah memegang senjata sendiri. Perlu diketahui, Libya memiliki salah satu sumber daya minyak terbaik di dunia, sehingga banyak kepentingan negara lain di negara gurun tersebut.

Membicarakan angkatan muda tidak lepas dari topik kesempatan kerja. Tingkat pengangguran di Tunisia pada Januari 2011, ketika revolusi baru dimulai, mencapai 13% dari total penduduk 10 juta orang. Kini, persentase pengangguran meningkat ke 15,2% walaupun sudah menurun dari tahun 2012 ketika masa transisi pemerintahan di mana tingkat pengangguran mencapai 18,9%. Negara “pelopor” Arab Spring ini pun belum lagi kembali ke posisi pra revolusi. Membicarakan Suriah dan Libya yang masih dilanda krisis keamanan, data terakhir yang masuk mengenai Suriah menunjukkan bahwa sebelum revolusi, di 2010 negara ini memiliki pengangguran sebanyak 8,3% dan melonjak ke 14,9% dari total populasi 22,85 juta orang pada tahun 2014. Libya menjadi negara kaya minyak dengan tingkat pengangguran yang tinggi di 2011, di posisi 19,5% dari populasi 6,2 juta penduduk. Sementara di Palestina, dengan populasi 4,29 juta orang, tingkat penganggurannya melonjak ke 27,5% meskipun sudah menurun satu poin ke 26,2% baru-baru ini.

Dengan tingkat pengangguran yang tinggi, negara-negara ini menjadi rentan terhadap permasalahan sosial dan politik apalagi apabila tidak ada kehadiran pemimpin yang akan keras dalam pelaksanaan kebijakannya. Kurangnya transparansi dan pengaturan administrasi yang sering mengulur waktu juga menjadi alasan tambahan bagaimana percepatan ekonomi di negara-negara yang terkena Arab Spring ini memakan waktu yang tidak sebentar. Reformasi birokrasi sangat dibutuhkan oleh negara-negara ini. Indonesia sudah memulai reformasi birokrasinya beberapa tahun yang lalu sehingga mempermudah perkembangan negara.

Motif politik untuk menumbangkan pimpinan negara belum lagi ditemukan pada situasi terkini di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan ending yang baik di akhir kepemimpinannya karena isu pemilihan umum presiden yang tidak menyinggung keberadaannya sebagai Presiden begitu pula Wakil Presiden Budiyono. Sedikit sekali SBY disinggung kecuali mengenai pertemuan dengan Capres-capres di Pemilu 2014 ini. Adanya persidangan di KPK menganai kasus Anas Urbaningrum (yang menjadi bulan-bulanan masyarakat terhadap image Partai Demokrat) di masa kampanye Pilpres pun tidak lagi menjadi perhatian publik. Sementara posisi Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih yang akan dilantik pada 20 Oktober tidak berpotensi untuk mengakibatkan kerusuhan. Kerusuhan, apabila kita menggunakan faktor kunci semacam di Libya dan Suriah, akan terjadi apabila ada tokoh penting (yang berhubungan erat dengan para kandidat) yang tewas dalam perjalanan ini dan framing media dibentuk secara dramatis seolah memojokkan pihak tertentu. Banyak yang mengantisipasi kekuatan Prabowo Subianto yang akan membuat kerusuhan apabila tidak memenangkan pemilu. Dari kemampuannya menjadi tokoh di kerusuhan 1998, kegiatan-kegiatan Kopassus di wilayah Timur Indonesia, keberadaannya memang dapat membuat banyak orang bergidik. Namun, apabila bercermin lagi kepada kejadian di Suriah dan Libya, dari dimulai dari kejadian di Tunisia, maka faktor satu orang dengan satu kubu besarnya yang memiliki motif politik tidak cukup kuat untuk membuat kerusuhan masal. Masyarakat punya kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi, ketika itu terganggu atau sampai batas dimana tidak bisa dicapai lagi pembaruan, maka geliat masyarakatpun akan terlihat. Ini hukum alam. Selain itu, membuat kerusuhan di saat seperti ini tidaklah bijak, di saat-saat dimana ekonomi Indonesia sedang baik, maka hanya akan membawa situasi perkonomian memburuk. Kemungkinan terburuknya, gerakan-gerakan yang beraliran ekstrim akan menunggangi kerusuhan dan memperkeruh situasi yang disebabkan oleh adanya Pemilihan Umum Presiden yang notabene adalah mandat konstitusi.

Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 24 Juli 2014

Lathifa Al Anshori

======

Tulisan ini saya buat tertanggal 24 Juli pas habis pengumuman Pilpres dirilis. Saya simpan aja. Tapi baru saya posting sekarang. Bagaimana pun, tulisan ini adalah sebuah analisa yang tidak dimaksudkan untuk menyinggung pihak manapun baik yang tertera dalam tulisan ataupun bagi pembaca blog L'Article ini. Terima kasih.


You may also like

Tidak ada komentar:

L'Article by LMA. Diberdayakan oleh Blogger.