Plus-Minus Pilkada Langsung & Tidak Langsung (Lewat DPRD)

/
0 Comments
Topik ini ramai beberapa minggu ini karena RUU Pilkada mau segera disahkan oleh DPR RI. 
Dikatakan, mereka akan ketok palu tanggal 25 September 2014 ini.

Daripada terpaku pada setuju atau tidak setuju, ini sedikit tentang plus-minusnya Pilkada Langsung & Tidak Langsung.

Menurut aku begini:
(C) Google by unknown yet.


+ Pilkada langsung
Kelangsungan cita-cita demokrasi dalam artinya setiap orang punya hak memilih terjaga. Ini cita-cita kita semua sebagai rakyat Indonesia, terutama dengan Reformasi '98.

- Pilkada langsung
Ada banyak biaya yang dikeluarkan. Di pihak KPU saja setahun akan mengeluarkan Rp 4 Triliun untuk melangsungkan itu (244 Pilkada). Yang akan mengeluarkan dana di pelaksaan pilkada ada KPU/KPUD, Panwaslu, Kepolisian, Calon-calonnya, dan tim-tim pemenangannya. Di tahun 2010, 244 Pilkada menghabiskan Rp 3,54 Triliun (setara dengan dana APBN untuk Kementerian Sosial di tahun yang sama). 
Selain itu ada politik uang di grass root. Tracking orang-orang yang mau mengaku menerima Rp 50.000 hingga Rp 300.000 daripada orang-orang yang menerima Rp 50.000.000 sampai Rp 300.000.000 atau miliaran rasanya lebih susah. Ugly truth memang.. Tapi qulil haqqa walaw kaana murra (katakan yang sebenarnya walaupun itu menyakitkan). Banyak yang khawatir modus penyuapan anggota DPRD akan marak terjadi. Setahu saya, radar KPK "baru bunyi" kalau di atas Rp 1 Miliar.

Meskipun begitu, everything has its own cost though.. 

Sementara di sisi lain..

+ Pilkada tidak langsung alias melalui DPRD aja..
Hanya ada 20-50 orang anggota DPRD di tingkat Kabupaten/Kotamadya. Ditambah ketua-ketua partai yang ada wewenang juga dalam hal ini.. Akan lebih mudah mengawasi kemungkinan terjadi tindakan korupsi. Karena jumlahnya sedikit.
Selain itu bisa membantu menghemat dana APBD. Juga, membuat anggota dewan perwakilan rakyat daerah ini setidaknya harus lebih menyatu dengan konstituen di daerah pemilihannya agar pilihan Walikota/Bupatinya yg sreg di hati rakyat. Anggota DPRD kan semestinya mendengarkan aspirasi, ada masa-masa reses lagi per beberapa bulan, khusus untuk mengurus konstituen.  

- Pilkada di DPRD aja alias tidak langsung
Ada kemungkinan suap menyuap.
Beban (mental, ekonomi, dan politis) yang harus ditanggung oleh calon yang menang kalau menangnya karena "lobby" menggunakan uang instead of karena kualitasnya dalam kepemimpinan daerah.

Selain perihal-perihal di atas, ada juga alasan timpangnya angka persentase koalisi Jokowi-JK (sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014-2019) versus koalisi Merah Putih. Banyak yang mengkhawatirkan kemungkin mayoritas pimpinan daerah di Indonesia selama satu periode ke depan akan dipimpin oleh kader/simpatisan/seseorang dari koalisi Merah Putih. Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah "putus"nya hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya karena perbedaan asal koalisi, lalu berujung pada merugikan rakyat. Nah, apakah rakyat akan tinggal diam? Jaangan dong.. Kan kita Pancasila.....

So, I guess what to do is to encourage people to understand more about politics. Dengan pendidikan politik. Sehingga memberikan hak politik kepada seeemuaanya tidak akan "costy" yang berakibat money politic dan pengawasan yang lebih ketat dari masyarakat juga keberanian untuk memberantas korupsi dengan KPK sebagai pihak yang berwenang dalam hal itu.


Ayo kita semua dukung dan berdoa bersama untuk Indonesia yang lebih baik. :)


You may also like

Tidak ada komentar:

L'Article by LMA. Diberdayakan oleh Blogger.